Malam di perkemahan dinginnya menusuk hingga ke tulang. Harusnya jadi mengantuk, apalagi siang tadi Nana dan rombongan pencinta alamnya baru saja tiba di perkemahan. Tetapi, rupanya mata dan tubuh tidak berdamai. Justru mata mengajak begadang, sementara tubuh rontok ingin rebahan.
"Please deh Na, jangan injak kaki gua. Nambahin penderitaan gua aja sih lu!" Ngedumel suara Tika sohibnya yang tak sengaja terinjak kakinya.
Iya, si tengil Nana memutuskan untuk keluar tenda. Tertarik mendengar suara gitar di luar sana euy. Ketimbang di dalam tenda mendengarkan suara dengkuran bersahutan. Hahaha...pikir Nana sok bijak.
Uuuppss...tetapi, waduh.... tetiba ingin balik badan ke kemah. Apa daya mata tertangkap mata olehnya.
"Kenapa belum tidur dek?" Suara berat Bang Piko menyapa mendadak dari arah api unggun. Padahal baru saja aku keluar dari tenda, dan baru saja diomelin Tika karena menginjak kakinya.
Belum pulih seluruh roh menyatu. Terdiam, tak sanggup Nana menjawab pertanyaan kakak pembina pecinta alamnya ini. Maklum, khusus untuk Nana, dia lebih dari seorang kakak. Tetapi target untuk dijadikan cowok.
Mengatakan suka jelas belum pernah, dan nyaris tidak mungkin banget. Usianya terpaut 14 tahun. Nana sadar, bagi Bang Piko, dirinya bisa jadi hanyalah adek. Kebetulan Bang Piko yang seorang mahasiswa ini adalah pembina pencinta alam di SMA tempat Nana belajar.
Sejak pertemuan pertama Nana, entahlah, kenapa suara Bang Piko seperti sengatan listrik yang selalu memacu detak jantung bekerja lebih cepat. Sekaligus rindu yang tidak pernah bisa selesai.
"Pertanyaan tidak terjawab. Kenapa belum tidur dek?" Kali ini dibarengi senyuman. Lalu tangannya meraih tanganku yang diam mematung bodoh seperti biasanya.
"Duduk sini, dan jadlah patung yah. Sebentar aku buatkan coklat susu, supaya kamu nggak sedingin ini," katanya sambil sempat-sempatnya mengucek rambutku. Untung saja aku nggak pingsan karenanya.
"Gokilll.... kenapa lu harus keluar tenda sih Na. Dasar bocah tengil! Kalau sudah begini, mau lari juga tidak bisa karena lutut lu aja mogok," Membatin hati Nana.