Dunia saat ini memasuki era serba digital. Termasuk Indonesia yang menurut Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny Plate ditargetkan pada tahun 2024 nanti 50 juta masyarakat Indonesia telah terliterasi digital. Kenapa demikian, karena Kominfo menyadari pentingnya kita tidak sekedar mengikuti kemajuan atau melek teknologi.
Percayalah kita tidak cukup sekedar maju. Kita, disaat bersamaan juga harus mengetahui bahaya mengintai di era serba digital. Harus dicatat bahwa, literasi sendiri berarti mengerti, paham dan memiliki kecakapan. Di mana dalam hal ini menyangkut serba serbi dunia digital. Bekal inilah yang juga harus dimiliki oleh warga dunia maya.
Mengenal istilah social engineering yang pastinya awam oleh sebagian dari kita. Tidak lain adalah bentuk kejahatan yang memanipulasi psikologi korban, baik disadari atau tidak, agar melakukan tindakan tertentu yang menguntungkan pelaku. Adapun media yang digunakannya beragam, misalnya SMS, e-mail ataupun media sosial lainnya.
Inilah yang marak terjadi belakangan ini, kejahatan siber dengan media social engineering. Viral fitur 'Add Yours' di Instagram menjadi perbincangan karena banyaknya data pengguna dipakai untuk penipuan. Tidak lain dikarenakan kelemahan atau ketidaktahuan alias kurangnya literasi sehingga menjadi celah masyarakat Indonesia mudah terjebak "oknum" atas nama tren. Merasa jadul jika tidak mengikuti arus kekinian, tanpa memperhitungkan dampak buruknya.
Ramainya tren 'Add Yours' di Instagram berujung pahit dengan banyak pengguna jadi korban penipuan. Bagaimana tidak, hanya karena ikutan tren, lalu pengguna IG dengan naifnya terjebak memberikan data pribadinya di IG Story mereka. Bertambah gaduh ketika postingan data pribadinya beredar bebas di jagad maya.
Sebenarnya 'Add Yours' diharapkan Instagram sebagai cara baru untuk membuat user generated content (UGC) yang bisa viral dan menguntungkan semua pengguna. Tetapi, seperti mata uang yang memiliki dua sisi, selalu ada celah bagi pelaku kejahatan untuk memanfaakan kondisi ini.
Dikutip dari detik.com sebagai contohnya, korban penipuan karena mengikuti tren Add Yours dan memberikan nama panggilan pribadinya. Akibatnya korban percaya untuk mengirimkan uang ketika penipu menyapa dengan nama kecilnya.
Disinilah pengguna ruang digital dituntut dewasa mengerti benar bahwa kejahatan akan selalu ada sekalipun di dunia maya.
Mewaspadai social engineering memang tidak semata media sosial tetapi juga di layanan komunikasi lainnya. Bentuk contoh lainnya, penelpon yang mengaku sebagai costumer service atau staf instansi bidang keuangan suatu perusahaan yang meminta data pribadi korban.
Kemudian juga link atau tautan aplikasi, atau email yang mengarahkan korban kepada website phising ataupun aplikasi untuk penyalahgunaan data pribadi.
Hal seperti inilah yang masih sangat perlu diedukasi oleh Kominfo. Menanamkan pengertian kepada masyarakat bahwa data pribadi adalah nyawa. Jangan memberikan data pribadi, tidak ada kompromi dengan alasan apapun termasuk ikutan tren. Masyarakat harus dididik mengerti dan paham mana yang bisa dishare dan yang tidak.