Tidak banyak yang aku ingat ketika pertama kali masuk dunia kerja. Sebab, semuanya bagiku sih biasa saja. Ehhhmmm...tetapi bisa jadi juga karena aku manusia aneh, atau memang akunya saja yang mati rasa. Hehehe....
Hari itu, bersamaku ada seorang lainnya yang juga pertama kali bekerja. Namanya Retno, dan posisinya sebagai Operator, sedangkan aku sebagai Private Secretary. Menurutku, tidak ada istimewanya diantara kami. Bagiku jabatan hanyalah judul, dan bukan pembeda kasta. Tetapi tidak mengerti juga, sebab menurut pandanganku si Retno ini kok apes banget. Dikucilkan, dan berbeda dengan diriku yang langsung "diterima" diajak makan siang.
"Nanti kamu ikut kami yah makan siang. Tidak jauh dari sini ada pecel lele yang enak." Begitu kata rekan kerjaku, dan memang pecel lelenya enak dan gratis pula untukku. "Tidak usah bayar, sudah ada yang traktir." Begitu seorang dari mereka membisikkiku.
Wow...kataku dalam hati, dan wow...kembali karena ternyata rombongan yang mengajakku makan ini terbilang "elit" di kantor. Artinya, di hari pertamaku langsung masuk lingkaran elit entah untuk alasan apa. Sebab si Retno yang masuk bersamaan denganku tidak diajak mereka.
Aku ingat, di kantor itu ada beberapa nama yang menurut kabar harus diwaspadai. Mereka ini orang-orang senior yang dekat dengan petinggi di kantor. Heheh...aku sih bingung, kenapa harus takut, bukankah aku ini Private Secretary para petinggi. Jadi aku auto dekatlah dengan para petinggi tanpa perlu difasilitasi. Menurutku, selagi pekerjaanku mulus tak bercela, maka mulus pulalah karirku.
Maka jadilah aku diriku sendiri, tidak perlu "menjilat" agar selamat dari ulah iseng karena pendatang baru. Kita semua tahu di dunia kerja, masa percobaaan atau probation 6 bulan ngeri sedap bagi para pemula. Termasuk aku dan Retno, sebab kami baru pertama bekerja setelah lulus kuliah.
Dunia kerja memang penuh dinamika, dan pengalaman mengajarkan skill atau kemampuan bekerja saja tidaklah cukup. Tetapi, dibutuhkan juga mental dan berkomunikasi agar bisa diterima dengan baik.
Jujur, aku tidak merasakan tekanan, seperti curhat Retno yang sering menangis karena "dikerjain" para senior. Berbeda dengan Retno yang serba dimasukan ke hati, aku memilih menunjukkan profesionalisme dan menghormati para senior tanpa harus menjilat mereka.
Kepada senior cewek yang umurnya diatasku, aku memanggil dengan sebutan ibu, atau mbak jika menurutku mereka cukup asyik. Sedangkan untuk kaum laki-laki, aku panggil dengan sebutan bapak atau bahkan koko, mengikuti sapaan teman-teman lainnya.
Aku juga membatasi diriku ketika becanda. Menurutku, aku belum mengenal karakter mereka dengan baik, sekalipun katakanlah aku sudah masuk lingkungan elit. Dibuktikan setiap akhir minggu selalu aku diajak untuk makan diluar. Langsung kabur ke Puncak menghabiskan weekend. Belum lagi beberapa undangan berkelas pilihan mereka, dipastikan aku selalu diundang.