"Biek, kapan balik?" Pertanyaan ritual setiap kali mendekati Idul Fitri. Seolah dunia berakhir ketika si bibiek atau Asisten Rumah Tangga (ART) tidak kembali lagi bekerja di tempat kita. Tidak dipungkiri, aku juga bagian dari para emak yang ngeri sedap. Tetapi itu dulu, sedang kini tidak terlalu.
Bibiek atau si mbak untuk budaya masyarakat Indonesia sudah seperti keharusan. Mereka ini ibaratnya garam, yang jika tidak ada maka membuat hambar seisi rumah.
Muka-muka cemberut dan letih lesu seisi rumah akan terlihat tanpa malu. Lalu tensi pun ikutan naik, karena melihat rumah bak kapal pecah.
Ngerinya lagi, anggota keluarga merasa biasa saja. Lalu membiarkan si nyonya berjibaku sendiri. Ujungnya, murka tak berkesudahan.
Hahah..itulah sinetron rutin yang menyertai lebaran rumah tangga Indonesia.
Cerita tentang diriku yang ketika anak-anak masih kecil jujur sangat membutuhkan ART. Tetapi seiring waktu maka keberadaannya tidak menjadi mutlak. Yup, seiring waktu juga aku mulai membiasakan anak-anak mengenal pekerjaan rumah tangga.
Mereka aku didik untuk selalu mencuci piring dan gelas setiap kali selesai digunakan. Membiasakan putriku untuk mencuci baju dalam skala kecil, dan si bungsu untuk menyapu pekarangan rumah. Keduanya juga terbiasa untuk terjun di dapur, dan mungkin ini karena ketularan aku yang senang mencoba berbagai resep. Singkatnya, aku tidak ingin keberadaan bibiek menjadikan kedua anakku tidak bisa apapun.
Bayangkan, ada cerita mengerikan dan ini nyata. Ketika aku mendapati seorang anak usia kelas 5 SD tidak dapat mengancing bajunya sendiri. Di lain waktu, seorang teman putriku yang ketika itu sudah usia SMP tetapi tidak bisa mengingkat tali sepatunya? Bertambah horor lagi, seorang ibu tidak tahu apa makanan kesukaan anaknya? Lalu seorang bocah menangisi si bibiek yang mudik? Ini kebangetan sekali!
Kejadian-mengerikan itulah yang membuat aku mendidik anak-anak untuk mandiri. Meski aku sadar apa yang aku kerjakan masih jauh dibandingkan kehidupan rumah tangga di luar sana. Budaya menjadi salah satu faktor yang membedakan.
Tidak seperti di Indonesia, karena pengalamanku kehidupan misalnya di Australia tidak membutuhkan ART seperti kehidupan keluarga Indonesia. Setiap pekerjaan rumah dilakukan bahu membahu antara istri dan pasangannya, ataupun anggota keluarga lainnya. Sekalipun mereka memperkerjakan seseorang sifatnya hanyalah sementara yang dihitung waktu. Itu pun untuk kondisi tertentu, misalnya memperkerjakan pelajar untuk sekedar membersihkan rumah 1-2 jam, atau mungkin menemani anak-anak bermain.
Kocak dan menyedihkannya banyak ditemui di Indonesia keberadaan ART lama-lama seperti menggantikan fungsi ibu rumah tangga. Buktinya, bukan hanya anak, tetapi si ibu sendiri pemilik rumah seperti kehilangan nyawanya. Menyerah, tidak sanggup mengurus rumah dan anak-anak secara bersamaan. Padahal, sebenarnya siapa disini yang menjadi ibu? Jadi kenapa terbalik, justru si bibiek yang dirindu? Ini sangat menyedihkan sekali, dan parah!