Apa kabarmu diary? Malam atau tepatnya pagi dini hari ini segala hal memenuhi kepalaku. Lebih tepatnya dalam beberapa hari ini sering aku mengingat semua yang telah aku lewati. Yup, semua hal. Pertemanan, permusuhan, tawa dan airmata yang terbungkus manis jadi kenangan. Tersadar, wow...aku telah melewati banyak cerita, dan bertemu dengan banyak orang. Kemana mereka, apakah mereka sehat-sehat saja?
Beberapa dari mereka, teman-teman yang masih sering aku lihat keberadaannya di status WA. Mereka itu orang tua dari teman-teman kedua anakku dulu ketika di playgroup hingga SMP.
Heheh...kadang aku ikutan senang melihat tingkah polahnya. Kadang aku nimbrung mengomentari. Tetapi lebih banyak hanya tersenyum ikutan bahagia.
Kamu tahu diary, 2 bulan lalu adalah hari-hari terberatku. Pandemi Covid semakin dekat mengintai. Secara beruntun aku kehilangan orang-orang yang pernah aku kenal. Mungkin mereka tidak mengenalku secara fisik, dan mungkin kami tidak pernah bertegur sapa langsung. Mereka teman atau orang tua putriku di SMA nya kini.
Tetapi juga, beberapa dari mereka aku tahu dari cerita dan kesehariannya. Iya, mereka adalah orang tua sahabat kedua anakku ketika di playgroup hingga SMP nya dulu. Cerita tentang mereka sering aku dengar lewat anak-anaknya,
"Tante, tadi papaku begini...bla...bla...dan bla.... Tan, pegel deh ngomong dengan papa, ribet! Wow...tumben kemarin papa saya kasih kejutan!" Begitulah dulu cerita itu sering dibagikan padaku saat menunggu jemputan pulang.
Lalu beruntun bulan lalu, hanya berjeda hari aku kehilangan nama-nama yang pernah diceritakan. Papa yang penuh kerumitan karena cinta untuk anak-anaknya. Yup, mereka pergi karena Covid. Pandemi telah merengut kebahagiaan banyak orang. Mengambil paksa orang-orang yang dicintai dari keluarganya.
Kamu tahu diary, bulan lalu aku terpukul. Aku menangisi mereka yang pergi. Padahal seperti kataku, aku hanya mengenal mereka lewat nama dan cerita. Tetapi, rasanya mereka begitu dekat. Kematian bukan lagi berita yang ada di televisi. Tetapi, kini merengut keluarga dan sahabat kita.
Paham rasanya kehilangan. Aku juga bisa merasakan kekejian Covid. Aku bahkan masih menyesali diriku "gagal" menyelamatkan penyitas Covid, karena komorbid. Termasuk, mereka yang pergi dikarenakan ketidak tersediaan plasma saat menjalani Terapi Plasma Konvalesen. Sumpah, aku tahu banget rasanya! Sampai aku di sebuah pertanyaan putus asa, "Tuhan, kenapa?"
Seperti malam tadi, sebuah berita duka kembali datang. Seorang yang tidak mengenalku, tetapi aku kenal lewat cerita. Papa dari teman putriku saat mereka masih bocah ingusan di playgroup hingga SMP. Aku shock dan diam ketika berita itu sampai di WA ku. Lalu kabar duka itu aku infokan ke beberapa teman, agar kami saling mendoakan.
Jangan tanya rasa yang timbul karenanya. Beberapa WA masuk dari anak-anak teman putriku. "Tan, kenapa Tuhan seperti ini? Apa maksud Tuhan? Kenapa Tuhan mengambil semua orang-orang terdekat, dan orang yang kita kenal tan?"