Lihat ke Halaman Asli

Desy Pangapuli

Be grateful and cheerful

Mengenang Gus Dur "Bapak Tionghoa" di Setiap Imlek

Diperbarui: 12 Februari 2021   03:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.inikepri.com/

Salah satu sosok negarawan di negeri ini yang aku kagumi itu Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, begitu orang memanggil Presiden keempat Indonesia ini.  Sifatnya yang humanis dan humoris tidak bisa lepas dari catatan sejarah negeri ini.  Tetapi, ada satu pertinggal manisnya, yaitu kebebasan etnis Tionghoa dalam merayakan Tahun Baru China atau Imlek di Indonesia.

Mengilas balik sejarah, di masa kepemimpinan Presiden Soeharto, Imlek dilarang dirayakan secara terbuka.  Tentang ini termuat dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.

Sejarah juga mencatat bagaimana etnis Tionghoa kerap mengalami diskrimininasi ketika itu.  Bahkan, untuk agama dan kepercayaan China ataupun pelaksanaan dan cara ibadah dan adat istiadat China pun diatur oleh Menteri Agama setelah mendengarkan pertimbangan Jaksa Agung.  

Lalu ketika Soeharto lengser pada 1998, dan di saat Gus Dur menjabat sebagai presiden menggantikan BJ Habibie, terjadi sebuah perubahan penting negeri ini.  

Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.   Sederhana saja pertimbangannya, karena Gus Dur ingin mengayomi seluruh agama yang ada di negeri ini.

"Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa berbuat baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu," demikian penggalan ucapan Gus Dur kala itu, yang begitu melekat erat dalam memori warga Tionghoa.  Dikutip dari: suara.com

Kalimat Gus Dur sangat nyentuh banget.  Intinya, kita tidak harus mempersoalkan perbedaan untuk melakukan perbuatan baik.  Berbuatlah baik, kepada siapa saja.  Kira-kira begitulah maknanya.

Tidak banyak pemimpin yang memiliki pemahaman seperti Gus Dur.  Inilah yang menjadi alasan, kenapa kepergian Gus Dur sebuah kehilangan.  Meskipun aku ini bukan dari etnis Tionghoa dan juga bukan seorang Muslim.  Tetapi, dari Gus Dur aku melihat sosok yang lengkap, agamais, nasionalis, humanis, dan humoris.

Gus Dur menghargai keragaman dalam arti yang sebenarnya, termasuk dalam beragama.  Sebuah kalimat bermakna pernah diucapkannya, "Indonesia bukan negara agama, tapi negara beragama."  Kalimat dahsyat yang bermakna dalam yang menandai betapa Gus Dur menjunjung toleransi di negeri ini, dan menghormati kebhinekaan.  Itulah sebabnya Gus Dur juga dijuluki Bapak Pluralisme.

Berkat Gus Dur, Imlek bukan lagi menjadi milik saudara kita etnis Tionghoa.  Tetapi, Imlek pun sudah menjadi libur nasional melalui Keppres Nomor 19 Tahun 2002 di era Presiden Megawati Soekarnoputri. 

Menjadi bukti bahwa negeri ini mengayomi semua kelompok, tanpa membedakan minoritas ataupun mayoritas.  Inilah yang menjadi mimpi Gus Dur, dan mimpi Indonesia sejatinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline