Lihat ke Halaman Asli

Desy Pangapuli

Be grateful and cheerful

Salahku Opo?

Diperbarui: 11 Februari 2021   01:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://yea-indonesia.com/

Malam diary, jadi ingin curhat nih gara-gara Kompasiana nyentil soal kritik.  Cius, topik pilihan mengenai kritik ini menggelitik sekali untukku. 

Ehhhmmmm.... sebelum lanjut, aku ketawa dulu yah, hahah...hahah...hahahhh... Uuuppsss...kamu pasti bingung yah diary?  Nih, aku ceritain ke kamu, siapa tahu saja kamu tahu jawabannya.  Bisa juga kamu kritik aku deh, boleh kok.

Sebelumnya, yuksss...kita kenalan dulu dengan kritik.  Menurutku, kritik itu adalah analisa dan evaluasi terhadap sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan atau membantu memperbaiki pekerjaan.  Tetapi, di dalam prakteknya ada 2 jenis kritik, yaitu kritik konstruktif atau kritik dengan tujuan membangun, serta kritik destruktif atau kritik yang ujungnya menghancurkan, alias cuma menyudutkan, nyinyir dan menjatuhkan.

Di dalam kehidupan kritik itu tidak segurih ketika dikritik.  Kita banyak menemui orang yang senangnya mengkritik tapi tidak bisa menerima dikritik.  Sekalipun, kritik itu bersifat konstruktif atau membangun, serta disampaikan dengan santun.

Yup, ada hal lain yang harus diperhatikan selain kritik itu sendiri.  Selain doyan mengkritik, mau nggak dikritik?  Lalu, bagaimana sih sikap kita menghadapi orang yang tidak bisa dikritik, alias "si maha benar."

Begini diary, aku jadi ingat pengalaman ketika menghadiri sebuah rapat.  Ketika itu tiba sesi tanya jawab.  Nah, sebagai perwakilan sebuah group, aku menanyakan beberapa hal dan juga memberi pertimbangan tentang gagasan yang menjadi tema rapat ketika itu.

Alih-alih bersambut, justru pendapatku ketika itu langsung di skak-mat dengan satu statemen, "Maaf, ini sudah menjadi kebijakan, dan setiap tahun memang dilakukan."  Hahahh...aku sebagai pendatang baru di komunitas tersebut ngakak saja dalam hati.  Kalau bingung soalnya sudah pasti.  

Bayangkan, bukankah sebuah kebijakan yang beranak cucu hingga bercicit pun tidak seharusnya kaku, dan bisa dirubah sesuai kondisi? Bukankah rapat tujuannya untuk mendengarkan masukan, agar keputusan yang dihasilkan baik untuk semua?

Pengalamanku tidak hanya sekali, untuk kebeberapa kalinya pun sulit "si maha benar" ini menerima masukan.  Intinya, rapat tidak lebih hanya sebuah pengumuman dari pihaknya.  Sedangkan peserta hanya pemanis, tidak ubahnya pita kado mungkin.

Bagian terlucunya ketika masa pandemi ini.  Maaf, aku kok mau ketawa lagi sih diary?  Hahahha....hahha....hahah..., wokeh aku lanjut yah.

Begini, di masa pandemi kita tahu semua aktivitas beralih virtual, termasuk rapat juga dong jadi virtual.  Disinilah gelinya aku, karena sekalipun diundang rapat oleh komunitasku itu.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline