Sosok ibu tidak selalu perempuan yang melahirkan kita. Seperti diriku yang dilahirkan dari rahim mama dengan cintanya yang tidak perlu diragukan lagi.
Cerita mama tentangku, betapa repotnya membesarkanku yang sakit-sakitan sejak kecil. Tetapi, ompung (mamanya mama) dialah sosok perempuan tangguh yang memberikan kekuatan pada mama. Puji Tuhan, atas kasihNya masa sukar itu bisa dilewati. Buktinya, aku sekarang bisa menulis dan menjadi Kompasianer.
Sebagai bidan yang mengenyam pendidikan kebidanannya di Akademi Keperawatan Bethesda Jogyakarta, ompung dididik ala Belanda. Itulah sebabnya ompung sangat disiplin dalam segala. Tidak heran mama memutuskan aku untuk dibesarkan oleh ompung di Jakarta ketika kedua orang tuaku harus mutasi ke daerah.
Tinggal dengan ompung ngeri-ngeri sedap. Nggak benar kata orang kalau tinggal dengan nenek maka kita dimanja. Hahah...buktinya tidak seperti itu yang terjadi dengan aku. Bak langit dan dasar sumur, disiplin ala Belanda diterapkan ompung ketika mendidikku.
Puji Tuhan aku diterima di sebuah SMP Katholik favorit yang berlokasi di Lapangan Banteng Jakarta. Jujurnya memang tidak mudah untuk diterima karena harus melewati berbagai test. Ompung, bangga sekali dengan keberhasilanku. Termasuk juga ketika aku dipercaya untuk menjadi Ketua Tari Bali, dan tampil di berbagai event.
Hahah...pastilah ompung bahagia, karena sekolah itu seperti ompung juga yang beti alias beda tipis dengan tentara. Iya, super-duper disiplin dalam segalanya!
Ketika itu sebagai murid di sekolah tersebut untuk yang berambut panjang maka wajib dikepang dua, dan diberi pita yang biasa-biasa saja. Kalau kataku ketika itu, pita kado saja masih jauh lebih bagus dari pita rambutku. Heheh...
Menurut Suster Kepala, yang penting rapi karena niat ke sekolah untuk belajar, bukan untuk gaya-gayaan. Tidak hanya rambut yang jadi persoalan, tetapi juga seragam yang harus serba tertutup, dengan sepatu ala cowok kalau kataku. Duhhh...jauh dari kesan modis. Parah! Mereka berhasil menciptakan anak perempuan menjadi cupu total!
Singkat cerita disanalah aku menempuh pendidikan super disiplin, dan ompung bangga banget. Mirisnya, ompung masih menambahkan pendidikan versinya, salah satunya tidak memberikanku uang jajan. Ompung lebih memilih membawakanku rantang 3 susun untuk hari biasa, dan 4 susun jika ada ekstrakurikuler.
Percaya tidak percaya, pulang sekolah rantang itu harus licin, tandas, tidak boleh tersisa! Menurut ompung, belajarlah bersyukur karena tidak semua orang hidup sebaik kondisi kita. Biasakan hidup sederhana, karena kalau hidup enak tinggal dinikmati saja. Duuhhh....sadisss....pung...!!!
Kembali kepada sekolahku yang "angker" karena disiplinnya itu. Sepulang sekolah bukan berarti hidupku bebas. Iya, sekalipun ada segunung tugas sekolah minta diselesaikan, dengan enaknya ompung membiarkan piring kotor di dapur untuk aku cuci, dan pakaian bersih untuk aku setrika. "Hikksss....ompunggg....!" jeritku ketika itu, heran kenapa ompung kejam banget.