Lihat ke Halaman Asli

Desy Pangapuli

Be grateful and cheerful

Insentif, Negara Bukan Sinterklas

Diperbarui: 8 Agustus 2020   20:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: thinktax.id

Bicara dampak ekonomi akibat Covid-19 jelas bukan milik Indonesia saja, bahkan Amerika yang berlabel negara adidaya pun terseok-seok ekonominya akibat Covid.  Pemutusan hubungan kerja, dan melambatnya roda ekonomi dikarenakan kurangnya daya beli jadi "trend" nyata hantaman Covid tanpa terkecuali.

Harus diakui Indonesia dibawah pemerintahan Jokowi kepedulian terhadap rakyat itu nyata.  Maaf, ini opini penulis, yang mungkin berbeda dengan opini pembaca.  Tetapi, sekalipun begitu penulis merasa terganjal dengan wacana insentif pekerja swasta dengan gaji dibawah Rp 5 juta, yang diperkirakan untuk 13 juta pegawai dengan total anggaran Rp 31 triliun.  Konon rencananya dimulai September hingga Desember 2020 dengan besaran per orang Rp 600 ribu per bulan yang akan diberikan 2 bulan sekali, sehingga total Rp 2,4 juta selama 4 bulan untuk setiap orang.  Kenapa penulis merasa kurang sreg?

Begini, jadi ingat pepatah kuno yang ternyata dari Cina, "Memberi Pancing lebih baik daripada Memberi Ikannya".  Banyak orang mengatakan pepatah ini sudah tidak relevan, dan mungkin di saat Covid ini makin tidak relevan karena faktanya memang angka kemiskinan di Indonesia meningkat.  Menurut Badan Pusat Statistik tercatat angka kemiskinan per Maret 2020 mengalami kenaikan menjadi 26,42 juta orang.

Prihatin, jelas prihatin.  Tetapi memberikan ikan, dalam hal ini berupa bantuan sosial tunai rasanya tidak tepat sasaran.  Mari kita belajar dari banyak pengalaman ketika pemerintah memberikan bantuan sosial berupa kebutuhan pangan saat PSBB beberapa waktu lalu.  Wuihh...jangan ditanya simpang siurnya.  Ada yang mendapat double, ada yang tidak mendapat samasekali padahal butuh, dan ada yang mendapat tetapi sebenarnya tidak membutuhkan.

Serupa tapi tak sama rasanya dengan insentif yang digadang-gadang pemerintah ini.  Mengerti maksudnya baik mendongkrak daya konsumsi masyarakat.  Tetapi ada banyak pertanyaan yang timbul karenanya, yaitu:

  1. Mau sampai kapan rakyat "disuapin" seperti ini
  2. Bagaimana sosialisasinya?
  3. Tepatkah ini menjadi solusi?
  4. Amankan ini dari kebocoran dana, korupsi, pemotongan dan sejenisnya?

Baiklah kita ambil contoh sederhana jika satu kepala keluarga, sebut saja Pak Budi mendapatkan tambahan insentif per bulan Rp 600 ribu selama 4 bulan ini.  Kemudian Pak Budi bisa lebih leluasa berbelanja selama 4 bulan.  Otomatis kesejahteraan sedikit terangkat, demikian juga roda ekonomi Indonesia ikutan berputar sedikit.  Ehhhmm...lalu apakah hanya itu tujuan akhirnya?

Ini persis memberikan ikan ketika sedang lapar-laparnya, tetapi hanya itu karena tidak ada kailnya untuk mencari ikan berikutnya.  Inilah juga yang akhirnya banyak terjadi dalam cerita bantuan lainnya di negeri ini.  Salah satunya Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang tidak sedikit justru lari dari tujuan utamanya yaitu membantu kebutuhan anak sekolah, tetapi berubah menjadi sikap konsumtif layanan gofood ataupun cuci mata di mall.

Apakah pemerintah atau negara salah?

Dikatakan salah tidak juga, tetapi rasanya tidak tepat.  Harus diingat bahwa kondisi keuangan negara juga tidak sehat, sehingga segala hal yang beraroma dengan anggaran haruslah dihitung super hati-hati.  Jangan sampai niat baik memberikan bantuan justru jadi tidak mendidik, atau bahkan jadi memberikan "makan" kepada yang sudah kenyang, alias kebocoran anggaran karena dikorup.

Menurut penulis, lebih baik digalakan atau fokus saja mendukung industri rumahan, misalnya dengan memberikan pelatihan gratis dan kemudian memberi bantuan permodalan.  Lebih cetar lagi dengan mengenalkan cara pemasaran digital, sehingga cakupannya lebih luas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline