Teriakan kuota dan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) sebenarnya nyaring di dunia pendidikan. Meskipun kalah nyaring dengan teriakan dunia bisnis yang semakin redup akibat pandemi Covid.
Bicara redup, juga sebenarnya bukan milik dunia bisnis saja. Di kalangan pelajar pun kondisi ini makin buruk dan kompleks.
PJJ bukan lagi kabar gembira, karena banyak anak mulai rindu segera kembali bersekolah, ketimbang "libur" panjang setiap hari menatapi gadget atau laptop. Ini belum termasuk kekesalan mereka karena tugas sekolah ada juga yang ngelantur tanpa interaksi guru. Ditambah "nyanyian" emak yang kesal karena mendadak jadi guru.
Mencari siapa yang salah, jelas bukan anak ataupun guru. Tetapi kondisilah yang memaksa semua ini terjadi. Termasuk orang tua yang dituntut ekstra sabar karena harus menggambil peran sebagai pendidik menggantikan guru yang mengajar. Di saat bersamaan bekerja demi membayar kuota dan lonjakan listrik yang ikutan naik akibat PJJ.
Istilahnya semua jadi berjumpalitan tidak jelas. Sedangkan menyalahkan pemerintah juga tidak tepat, karena siapa yang menghendaki kondisi seperti ini. Jangankan Indonesia, faktanya dunia pun perang terhadap Covid.
Berlama-lama fokus hanya kepada Covid dari sudut kesehatan saja juga tidak bisa dibenarkan, karena ada faktor sosial, ekonomi dan bahkan pendidikan yang saling berkaitan di dalamnya. Inilah yang juga menjadi pertimbangan pemerintah untuk berlahan mulai membuka mall dan beberapa sektor ekonomi. Tujuannya agar roda ekonomi berputar, dan negeri ini tidak terpuruk seperti yang terjadi pada Singapura dan India.
Tetapi jelas pendidikan tidak bisa disamakan dengan dunia bisinis, karena disini pertaruhannya adalah nyawa peserta didik dan juga tenaga pengajar.
Tentunya tidak bisa dihindari ada orang tua yang putus asa karena ketidakmampuannya menggantikan peran guru di masa PJJ ini. Merasa tidak adil, karena terkhusus sekolah swasta misalnya uang sekolah tetap berjalan sementara proses belajar dilakukan daring. Jeritan merasa terbeban karena bayar double, uang sekolah dan lonjakan listrik di rumah akibat PJJ.
Cerita seperti ini juga terjadi di sekolah negeri yang bebas uang sekolah. Tetapi tetap saja faktanya tidak bisa menghindar dari kuota misalnya untuk beberapa anak yang tidak memiliki fasilitas internet di rumah.
Apapun itu, menurut penulis sih kebangetan saja, kalau karena kondisi-kondisi ini lalu kita ramai-ramai berteriak ingin sekolah segera dibuka.