Membicarakan nikah mengingatkan penulis pengalaman pribadi, banjir 2002 di Jakarta. Ehhmmm....jangan ditanya kondisi Jakarta saat itu bak lautan! Tragisnya di tahun itulah penulis menikah.
Singkat cerita, pemberkatan nikah berjalan lancar, tetapi tidak dengan resepsi pernikahan yang dilanjutkan dengan acara adat. Heheh...maklum penulis dari etnis Batak, yang yang dikenal rempong adat pernikahannya. Percaya tidak percaya, acara bisa seharian suntuk, hingga matahari terbenam!
Inilah yang terjadi saat itu, hujan deras tak bersahabat tiba-tiba mengamuk. Alhasil gedung resepsi terkepung air. Ngegilai mungkin, karena tamu yang bela-belain datang pun rupa-rupa warnanya. Heheh... beberapa datang dengan menggunakan perahu, gerobak, dan ada juga yang datang dengan menggunakan celana selutut. Kebetulan rumahnya tidak jauh dari gedung resepsi di daerah Sunter.
Intinya sahabat penulis tersebut ingin menunjukkan ikut berbahagia, namun apa daya rumahnya pun terkena banjir. Ini belum lagi menyebutkan perjuangan atasan penulis yang harus rela mobil mewahnya terendam banjir. Uupps...maaf bos!
Sekarang mari kita lihat tantangan menikah di saat pandemi.
Jujurnya sih, ini ngeri-ngeri sedap yah. Mengerti menikah itu ibadah, apalagi Tuhan sudah memberikan jodoh untuk kita. Tetapi, nggak kebayang saja tanggung jawab moral jika acara kita nantinya membawa duka untuk orang-orang terkasih. Mereka yang datang untuk mendoakan kita, tetapi justru berujung dengan cerita yang berbeda.
Mungkin tidak serupa dengan pengalaman penulis. Tetapi, ketika penulis menikah di tahun 2002 itu alhasil sepi tamu undangan. Acara adat pun dimodifikasi supaya tetap berjalan.
Nyesek, karena makanan catering berakhir dengan diberikan kepada anak-anak panti dan warga sekitar yang terkena musibah banjir. Diambil positipnya saja, setidaknya bisa menjadi berkat untuk orang lain.
Sekarang kita bayangkan jika menikah di masa pandemi ini, antar yes or not. Maksudnya, jika pernikahan dipaksakan digelar secara "normal" lengkap dengan resepsi apakah tidak memaksakan diri? Sekalipun mungkin dengan menggunakan protokol kesehatan, rasanya kok seperti berjudi yah.
Inilah juga di depan mata yang dihadapi salah seorang kerabat penulis yang ingin menikahkan anaknya, lengkap dengan adat. Pertemuan panitia adat saja sudah begitu sulit dikumpulkan karena hanya beberapa kerabat yang bersedia terlibat. Itupun karena berbagai pertimbangan tidak enak, dan garis kekerabatan yang kelewat dekat.
Sekarang dilema dan galau memuncak, karena Jakarta mengamuk merah membara. Ada kebingungan yang dirasakan keluarga yang terlibat dalam acara.
Ingin mundur dari kepanitiaan tapi tidak enak karena ini adat. Tetapi lanjut pun ngeri, karena siapa yang bisa menjamin semua aman-aman saja. Ini baru membicarakan kepengurusan panitia, dan belum hari "H" nya nanti