Sebagai orang tua, kita sering kali tidak menyadari bahwa perilaku kita sehari-hari bisa menjadi teladan yang sangat kuat bagi anak-anak. Dalam banyak hal, perilaku orang tua dan tontonan yang dipilih anak-anak bisa memberikan dampak jangka panjang terhadap cara anak-anak bersikap dan berinteraksi dengan dunia di sekitarnya. Albert Bandura, seorang psikolog yang terkenal dengan eksperimennya Bobo Doll Experiment menjelaskan bahwa anak-anak belajar melalui observational learning atau pembelajaran melalui pengamatan. Dalam eksperimennya menunjukkan anak-anak yang melihat seorang dewasa memukul boneka Bobo cenderung meniru perilaku tersebut tanpa ragu. Teori Bandura mengungkapkan bahwa orang cenderung mengadopsi perilaku dan sikap baru dengan mengamati dan meniru orang lain melalui pengalaman langsung maupun tidak langsung (Batan & Dulek, 2023).
Mengapa Anak Meniru?
Anak-anak meniru perilaku orang disekitarnya atau karakter yang mereka lihat karena belum memiliki kemampuan kognitif yang cukup untuk membedakan dengan jelas antara apa yang benar atau salah dan cenderung bergantung pada lingkungan untuk memandu mereka. Selain itu, meniru adalah hasil dari pengamatan anak terhadap lingkungan sekitarnya (Myers, 2015). Tontonan dan media digital hanya memperluas cakupan model yang mereka lihat, dan jika model-model tersebut tidak memiliki nilai positif, maka dampaknya bisa cukup merugikan.
Orang tua adalah figur yang paling sering ditemui oleh anak-anak, dan mereka juga adalah model pertama yang dikenali oleh anak. Perilaku orang tua yang penuh kasih, sabar, dan mampu menyelesaikan masalah secara damai akan menjadi contoh yang positif bagi anak. Sebaliknya, jika anak sering melihat orang tua mereka terlibat dalam konflik verbal atau bahkan kekerasan fisik, anak-anak mungkin akan melihat perilaku tersebut sebagai cara yang dapat diterima untuk menghadapi masalah. Sebagai contoh, jika seorang anak sering melihat orang tuanya berbicara kasar atau menunjukkan sikap agresif dalam mengatasi masalah, ada kemungkinan besar anak tersebut akan meniru perilaku tersebut. Tidak hanya kata-kata atau tindakan fisik, tetapi bahkan sikap terhadap masalah sehari-hari, cara kita merespons tekanan, atau bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain bisa sangat memengaruhi pola pikir dan perilaku anak.
Selain orang tua, tontonan yang dikonsumsi anak-anak juga memainkan peran penting dalam membentuk perilaku mereka. Anak-anak sering kali meniru apa yang mereka lihat di layar, baik itu dalam film, acara televisi, atau bahkan video game. Konten yang mengandung kekerasan dapat menyebabkan anak-anak menganggap kekerasan sebagai solusi yang dapat diterima untuk menyelesaikan konflik. Ketika anak-anak terpapar pada konten kekerasan, mereka bukan hanya menyaksikan peristiwa tersebut, tetapi mereka juga belajar bagaimana menanggapi situasi yang serupa di dunia nyata. Penelitian oleh Zhang, Chao, & Tian (2021) menunjukkan hasil bahwa anak yang memainkan game kekerasan menunjukkan peningkatan dalam berperilaku agresif dibandingkan game yang tidak mengandung kekerasan. Hasil serupa ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan Li, Dua, & Gao (2020) bahwa konten kekerasan berdampak pada perilaku agresif anak. Konten kekerasan, baik itu dalam game atau film, dapat membentuk persepsi anak-anak tentang dunia dan bagaimana mereka berinteraksi dengan orang lain. Jika anak-anak sering melihat kekerasan, mereka mungkin menganggapnya sebagai hal yang biasa, bahkan dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Langkah-langkah yang Dapat Diambil Orang Tua
Untuk mengurangi dampak negatif dari perilaku yang ditiru, ada beberapa langkah yang bisa diambil oleh orang tua:
- Menjadi Teladan yang Baik
Orang tua perlu menyadari bahwa mereka adalah figur utama yang dicontoh oleh anak-anak. Maka dari itu, penting untuk menunjukkan perilaku yang positif, seperti berbicara dengan sopan, mengelola emosi dengan baik, dan menyelesaikan masalah secara damai memberikan dasar bagi anak untuk mengembangkan kebiasaan yang baik. Misalnya, ketika orang tua menanggapi konflik dengan tenang, anak-anak akan belajar untuk tidak bereaksi secara impulsif dalam situasi serupa. Morelli, et. al (2020) mengungkapkan bahwa orang tua yang konsisten menunjukkan nilai-nilai seperti kejujuran, empati, dan kesabaran dapat membantu anak membangun karakter yang kuat dan adaptif. Selain itu, orang tua juga perlu mengevaluasi diri secara berkala, memastikan bahwa perilaku sehari-hari mereka sesuai dengan nilai-nilai yang ingin ditanamkan kepada anak.
- Seleksi Konten yang Dapat Dikonsumsi Anak
Orang tua perlu memastikan bahwa anak hanya mengakses konten yang sesuai dengan usia mereka. Misalnya, memilih film atau serial edukatif yang mengajarkan nilai-nilai seperti persahabatan, kerja sama, atau keberanian. Hindari konten yang mengandung kekerasan, bahasa kasar, atau stereotip negatif karena hal ini dapat memengaruhi cara anak memandang dunia. Orang tua juga dapat melibatkan anak dalam proses pemilihan tontonan atau permainan, sehingga anak merasa dihargai namun tetap mendapatkan arahan yang sesuai. Selain itu, orang tua disarankan untuk mendampingi anak saat mengonsumsi konten tertentu, sehingga dapat memberikan penjelasan jika terdapat adegan yang membingungkan atau berpotensi disalahartikan. Penelitian oleh Fernandez, Guerrero, & Cortez (2021) menunjukkan bahwa paparan konten kekerasan yang intens atau kurangnya pengawasan dapat memicu efek negatif seperti agresi, tetapi memilih konten yang aman dan edukatif bisa membantu anak untuk belajar melalui pengalaman positif tanpa risiko agresi atau desensitisasi.
- Diskusi Terbuka dengan Anak
Membangun komunikasi yang baik dengan anak merupakan langkah penting untuk membantu mereka memahami dunia sekitar. Orang tua dapat berdiskusi dengan anak tentang apa yang mereka tonton, dengar, atau alami, sehingga anak tidak hanya menjadi penerima pasif tetapi juga mampu berpikir kritis. Sebagai contoh, jika anak melihat adegan kekerasan di sebuah film, orang tua dapat menjelaskan mengapa hal tersebut salah dan apa yang seharusnya dilakukan. Selain itu, orang tua dapat membantu anak memahami perbedaan antara dunia nyata dan fiksi, terutama bagi anak-anak yang masih dalam tahap awal perkembangan kognitif. Tanyakan pendapat anak tentang pesan yang disampaikan dalam tontonan mereka, seperti apakah mereka setuju atau tidak, dan mengapa. Penelitian oleh Niu, et. al (2020) menunjukkan bahwa kurangnya perhatian orang tua, misalnya karena terlalu sering menggunakan ponsel, dapat meningkatkan risiko anak meniru perilaku tersebut, termasuk penggunaan ponsel yang berlebihan. Oleh karena itu, diskusi terbuka juga dapat menjadi momen bagi orang tua untuk memberikan perhatian penuh kepada anak, menunjukkan bahwa mereka hadir secara fisik dan emosional.