[caption id="attachment_289799" align="aligncenter" width="236" caption="Kupu-kupu api"][/caption] Dulu, Kakek sempat bercerita tentang legenda kupu-kupu api. Kawanan kupu-kupu kecil dengan warna merah menyala. Semerah warna api yang menyalak. Konon, apa pun yang dihinggapi kupu-kupu api seketika akan terbakar. Ludes, tanpa bekas. Entah betulan atau cuma bualan Kakek. Toh, aku tetap percaya. Dongeng yang selalu diulang itu tak pernah membuatku bosan. Justru sebaliknya. Setiap kali mukaku lebam dipukul Ayah, aku selalu berlari ke rumah Kakek dan minta dininabobokan. Seingatku, itu waktu aku masih berusia 6 tahunan. Dan seperti yang kuduga sebelumnya. Kakek akan mendongengkan cerita kupu-kupu api. Namun kali ini ada yang berbeda dengan cerita Kakek. Bukan hanya ceritanya, tetapi juga ekspresi wajah Kakek. “Kakek pernah bertemu kupu-kupu api?” tanyaku, berusaha mengalihkan kecemasan dalam benak. Sembari menepuk-nepuk pantatku, Kakek berucap, “Belum. Tapi, Kakek selalu percaya kupu-kupu api akan turun ke bumi dan mencabut nyawa manusia jahat.” Mencabut nyawa? Dua kata itu kini mampir di otakku. “Dulu, Kakek tidak pernah bilang kalau mereka akan turun untuk mencabut nyawa?” sahutku penasaran. Sekali lagi, Kakek menepuk-nepuk pantatku sebelum menjawab. “Karena Kakek ingin menyimpan cerita hebat ini untukmu, Nduk,” seberkas senyuman tersungging di pucuk bibirnya. “Lantas, apa yang akan dilakukan kupu-kupu api pada orang jahat itu, Kek?” sejenak aku berharap dongeng itu sungguh-sungguh terjadi pada Ayahku. Entah apa yang terjadi padaku kalau Kakek tiada. Dialah yang memberiku makan ketika istri kedua Ayah–Ibu tiriku–tidak menyisakan nasi untukku. Kakek pula yang meninabobokkanku sejak Ibu meninggal-saat usiaku masih 5 tahun. Lantas, di mana Ayahku? Dia tentu bukan orang tua yang bertanggung jawab sebab telah menelantarkanku selama 10 tahun. Tak pelak, bogem mentahnya sering mendarat ke sekujur tubuhku. “Seperti yang sudah Kakek katakan sebelumnya, kupu-kupu api adalah utusan malaikat pencabut nyawa. Mereka ditugasi untuk mencabut nyawa manusia-manusia jahat di bumi dengan membakar habis tubuh mereka,” lamunanku sirna saat mendengar cerita Kakek yang seakan-akan membawaku kembali ke bumi. “Membakar habis tubuh mereka, Kek? Sampai habis?” Aneh betul pertanyaanku barusan. Kakek heran melihat wajahku yang tampak bersemangat saat mendengarnya berkata demikian. Reaksi Kakek masih tetap sama. Sebelum bercerita, ia akan menepuk-nepuk pantatku. “Apa yang membuatmu segembira itu, Nduk?” Kakek tampaknya penasaran dengan tingkahku barusan. Sayang, aku tak bisa mengatakannya pada Kakek. Sebuah rahasia yang kupendam, selama lebih kurang 5 tahunan ini dan cerita kupu-kupu api membuatku tambah bersemangat untuk mewujudkan rencana tersebut. “Tidak ada apa-apa, Kek. Aku cuma penasaran dengan dongeng kupu-kupu api,” perasaan bersalah itu membuatku malu menatap wajah Kakek–wajah tirus yang dijejali kerutan di sana-sini. Jujur, aku takut membayangkan wajah Kakek. Terutama ketika ia tahu apa yang hendak kulakukan pada Ayah. Ah… Sudahlah! teriakku membatin. Ini demi kebahagiaan kami. Untukku dan Kakek tersayang. Malam itu aku pun pamit pada Kakek. Tak menginap. Namun tidak seperti biasanya, Kakek mencoba menahanku. Ia memohon agar aku mau menemaninya tidur. Aneh. Ini tak pernah terjadi sebelumnya. Kecemasan yang tadinya hilang, kini datang lagi. Pria renta berumur 80 tahunan itu pun akhirnya kutemani tidur. Kakek tidur begitu tenang di sebelahku. Saking tenangnya, aku sempat berpikir dia mati. Maka kuputuskan untuk menjaganya semalaman suntuk. Tanpa tidur. Tiga jam berselang, jam kayu usang yang tergantung di seberang tempat tidur berdentang tiga kali. Sudah pukul tiga pagi. Rasa kantuk kian merekatkan dua biji mataku. Perlahan, aku pun mulai tertidur pulas.
***
Kegelapan mulai beranjak pergi. Setitik cahaya mengintip di balik celah jendela. Mataku terkejap pelan dan mengumpulkan cahaya. Aku terbaring di atas ubin kayu, lengkap dengan kasur kapuk yang sudah kempes. Sesaat, aku merasa lega Kakek masih ada di sebelahku. Terlelap tanpa suara. “Kek, sudah pagi. Kek,” kuusap-usap bahu kirinya. Sudah kutunggu tetap tak merespon. Kecemasan itu membuncah kembali dari dadaku. Ini aneh. Sungguh aneh. Kakek tak pernah sulit aku bangunkan. Kucoba untuk kesekian kalinya. “Kek, Kakek, Kek, bangun Kek. Ayo Kek bangun! Kakeee…k,” pekikku, sembari menyentakkan tubuh renta yang terbujur kaku. Aku terus mencoba untuk membangunkan Kakek. Hasilnya tetap nihil. Tubuh Kakek sudah mengeras. Dingin. Jantung tua itu tak lagi berdegup. Napasnya pun telah menyurut. Pagi itu, Kakek benar-benar pergi meninggalkanku. Tidak untuk sesaat. Tapi selamanya. Mendung di pelupuk mata tak lagi dapat dibendung. Tetes demi tetes air berlomba jatuh. Seakan hari sangat redup ditutupi kabut. Kuiringi kepergian Kakek dengan deraian tangis yang tak terhenti. Gejolak kesedihan berkecamuk di dalam hatiku. Ingin rasanya teriak. “Berhentilah menangis!” hardik pria berperut buncit yang duduk di dekatku. “Tidakkah Ayah sedih melihat kepergian Kakek?” nada suaraku sedikit naik. Berharap Ayah tahu maksudku barusan. Dia seharusnya malu dengan para tamu. Sungguh tak sedikitpun tergambar raut pilu di wajah pria yang kusebut “Ayah” itu. “Dasar anak setan! Kau ingin mengajariku?” kata-kata itu seolah mencekik telingaku. Jika sudah begini, bapak pasti akan menghajarku. Tapi tidak di sini. Tidak saat orang sekampung berkumpul di kuburan Kakek. Itu sedikit melegakanku. Hingga akhirnya tanah itu menimbun tubuh Kakek. Aku tetap mematung di samping nisannya. Bahkan ketika satu per satu pengantar telah kembali. Aku masih di situ. Di samping nisan batu yang bertuliskan nama Edi Sujarwo. “Kek, aku takut sendirian,” kataku sambil terisak. Seketika itu juga. Sekawanan kupu-kupu berwarna merah menyeruak dari dalam makam Kakek. Aku sempat terperangah melihat kejadian luar biasa itu. Kupu-kupu api! Teriakku. Kakek tidak pernah berbohong padaku. Dongeng itu nyata. “Apakah kalian akan membalaskan dendamku?” tanyaku pada para kupu-kupu. Mereka terus berputar di sekelilingku. Seperti ingin menuntunku ke suatu tempat. Lantas kuikuti saja kemana arah mereka terbang. Aku berlari bak sedang mengejar layangan putus. Instingku masih menerka kemana mereka akan terbang. Yang ternyata adalah rumah Ayahku dan istri mudanya. “Apa yang hendak kau lakukan pada mereka?” langkahku terhenti di bawah pohon mangga–di dekat pekarangan rumah. Seekor kupu-kupu api yang berukuran agak besar mendekatiku. Badannya tampak merah menyala. Sayap kertas itu terus mengepak tiada henti. Dia tak berkata apa-apa. Namun seperti sedang mengatakan sesuatu. Entah apa itu maksudnya. Kupu-kupu api itu kemudian menggiring teman-temannya untuk terbang ke arah rumah. Aku sempat menelan ludah. Tak membayangkan, apa yang akan terjadi selanjutnya. Semula satu per satu kupu-kupu menempel di dinding. Perlahan warna merah sayap mereka seakan menutupi seluruh bagian rumah. Di atap. Di jendela. Di dinding. Semua penuh dengan kupu-kupu api. Dengan tawa yang terukir di wajah, aku berbalik memunggungi rumah yang sudah dilahap si jago merah. Kumasukkan korek api gas di saku celana dan tak lupa membakar jerigen bensin yang kemarin lusa kusembunyikan di balik semak pohon mangga. Gambar: diakses tanggal 21 September 2013, metamorphosis.cu.edu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H