Lihat ke Halaman Asli

Teori empati dari Martin hoffman

Diperbarui: 23 Januari 2025   17:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

7. Teori Empati dari Martin Hoffman
Teori empati yang dikemukakan oleh Martin Hoffman berfokus pada perkembangan empati pada anak-anak dan bagaimana empati berfungsi dalam interaksi sosial (Afifah, et al., 2024). Hoffman, seorang psikolog dan pakar perkembangan, menggali secara mendalam bagaimana individu, khususnya anak-anak, dapat merasakan dan memahami perasaan orang lain. Dalam teorinya, Hoffman mengusulkan bahwa empati adalah kemampuan untuk merasakan atau memahami perasaan orang lain dan terlibat dalam respons emosional terhadap pengalaman mereka. Empati ini sangat berhubungan dengan perkembangan moral dan sosial individu. Menurutnya, empati tidak hanya sekadar respons emosional terhadap penderitaan orang lain, tetapi juga melibatkan kemampuan untuk memahami perspektif orang lain dalam konteks yang lebih luas.
Hoffman menjelaskan bahwa empati berkembang dalam berbagai tahap seiring dengan perkembangan kognitif dan sosial anak. Tahap pertama yang disebutnya adalah tahap empati emosional yang sangat dasar, yang muncul pada bayi. Pada tahap ini, bayi merespons perasaan orang lain melalui reaksi emosional yang bersifat mimetik, misalnya, ketika mereka mendengar suara bayi lain menangis, mereka pun menangis. Ini menunjukkan bahwa empati pertama kali muncul dalam bentuk respons emosional langsung yang tidak melibatkan kesadaran diri atau pemahaman yang mendalam tentang perasaan orang lain. Empati pada tahap ini lebih berfokus pada reaksi fisik atau emosional terhadap stimulus eksternal (Yakin, 2021). Seiring bertambahnya usia anak, kemampuan untuk merasakan empati berkembang lebih jauh, masuk ke tahap yang lebih kompleks. Pada tahap berikutnya, yang disebutnya sebagai empati kognitif, anak mulai menunjukkan kemampuan untuk memahami perasaan orang lain tanpa harus merasakan perasaan tersebut secara langsung. Misalnya, seorang anak dapat memahami bahwa teman sebayanya sedih karena kehilangan mainan tanpa merasa sedih juga. Tahap ini menandai perkembangan kemampuan anak untuk memahami bahwa orang lain dapat merasakan sesuatu yang berbeda dari dirinya. Hal ini juga terkait dengan perkembangan teori pikiran, yang memungkinkan anak untuk membedakan antara pengalaman diri mereka dan pengalaman orang lain, serta memproses informasi yang lebih kompleks mengenai perasaan orang lain. Tahap yang lebih lanjut dari perkembangan empati adalah empati prososial, di mana individu tidak hanya memahami atau merasakan perasaan orang lain, tetapi juga bertindak untuk membantu atau mendukung mereka. Pada tahap ini, empati mulai berfungsi sebagai pendorong bagi tindakan-tindakan

moral yang positif, seperti membantu orang yang membutuhkan atau menunjukkan perhatian terhadap kesulitan orang lain. Empati prososial ini sangat penting dalam membangun hubungan sosial yang sehat dan saling mendukung, karena ia melibatkan dorongan untuk bertindak demi kesejahteraan orang lain, bukan sekadar merasakan perasaan mereka.
Hoffman juga membahas faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan empati. Salah satunya adalah faktor sosial dan budaya. Lingkungan di sekitar individu, termasuk orang tua, teman sebaya, dan masyarakat secara keseluruhan, memainkan peran besar dalam membentuk cara seseorang merasakan dan memahami perasaan orang lain (Diswantika, et al., 2021). Misalnya, orang tua yang menunjukkan perilaku empatik dan mengajarkan nilai- nilai empati kepada anak-anak mereka akan membantu mempercepat perkembangan empati pada anak. Selain itu, pengalaman sosial juga memberikan kontribusi besar terhadap kemampuan empatik seseorang. Anak-anak yang sering terlibat dalam interaksi sosial dengan berbagai kelompok cenderung lebih mampu memahami dan merespons perasaan orang lain dengan lebih baik. Selanjutnya, Hoffman juga menjelaskan peran empati dalam perkembangan moral. Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membuat keputusan moral yang tepat. Menurut Hoffman, anak-anak yang memiliki empati yang baik lebih cenderung untuk berperilaku prososial, seperti berbagi atau membantu, karena mereka bisa merasakan penderitaan orang lain dan merasa terdorong untuk meringankan penderitaan tersebut. Sebaliknya, anak-anak yang kurang memiliki empati cenderung memiliki kesulitan dalam memahami kebutuhan dan perasaan orang lain, yang dapat menyebabkan perilaku egois atau kurang perhatian terhadap kesejahteraan orang lain.
Secara keseluruhan teori empati Martin Hoffman menggambarkan bahwa empati bukanlah sesuatu yang statis atau sederhana, melainkan berkembang dalam berbagai tahap sesuai dengan kematangan kognitif dan sosial individu. Dari respons emosional yang sederhana di masa bayi hingga empati prososial yang lebih kompleks di masa kanak-kanak dan dewasa, empati memainkan peran yang sangat penting dalam membangun hubungan antarindividu dan dalam pembentukan nilai-nilai moral yang mendalam. Teori ini tidak hanya memberikan wawasan tentang bagaimana empati berkembang, tetapi juga menggarisbawahi pentingnya empati dalam kehidupan sosial, moral, dan psikologis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline