Lihat ke Halaman Asli

Kita Patut Tak Percaya

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini saya hanya memiliki waktu kurang lebih lima belas menit untuk mendedahkan kalimat demi kalimat ini sebab bapak yang tengah sakit harus segera saya sajikan sarapan pagi dan secangkir teh hangat. Saya tulis kalimat ini dengan pusing  yang masih terus-terusan memantik kepala dan tubuh yang  terasa amat lemas. Namun demi memenuhi keinginan jemari ini untuk menulis, saya ikutlah menuruti apa maunya.

Teman, dalam hidup ini kita patut tak percaya pada orang lain (?) Mengapa saya katakan demikian? Sebab itu adalah pilihan preogatif yang dimiliki individu. Ah, mengapa saya  menganggit judul tulisan seperti ini, pasti ada musababnya. Tentu, pasti!

Sedikit cerita, ini terjadi pada siang kemarin. Kira-kira jarum jam menunjukkan pukul 13.45. Kebetulan saya ingin berangkat pengajian dengan sedikit memaksakan kesehatan. Tetiba bapak menyuruh saya membelikannya obat di salah satu apotek yang tak begitu jauh dari rumah. Mengendarai motor amatlah singkat waktu yang dibutuhkan. Akhir-akhir ini kondisi kesehatan bapak mengalami penurunan. Darah tinggi yang melonjak tinggi dan tetiba saja rematiknya kuat. Alhasil berpindah dari tempat tidur dan kursi--di ruang keluarga--yang bisa dilakukan. Tak itu juga, kondisi saya yang akhir-akhir ini pun harus bolak-balik kontrol ke dokter dan dengan tekanan darah yang selalu rendah membuat saya tak bisa sigap dan aktif. Ah, maaf, saya bukan bermaksud membabarkan kondisi kesehatan saya, melainkan mungkin inilah bahasa pengantar untuk kembangan cerita berikutnya.

Baik, saya lanjutkan. Bapak menyuruh saya mnegambil uang yang tergeletak di meja. Senilai Rp 15.000,00. Disebutkannyalah nama obat tersebut dan saya langsung menggangguk paham. Maka berangkatlah saya dengan mengendarai Suzuki Titan.

Tiba di apotek, saya mengulum senyum untuk Nci (panggilan wanita dewasa keturunan Cina). Sama hal yang ia lakukan ke saya, membalas senyum. Saya memang sering membeli obat di sana sehingga kami terkadang terjalin obrolan hangat. Selama ini, tiap kali saya membeli obat, saya tidak pernah mengebon padanya. Akan tetapi, saat itu, saya butuh dia percaya pada saya.

Harga obat berdasarkan permintaan bapak ternyata lebih mahal dari perkiraan saya karena selama ini obat-obatan yang dijualnya lebih murah dibandingkan apotek lain. Harga obatnya Rp 35.000,00. Kebetulan juga sepeser pun saya tak memegang uang, kecuali uang dari bapak. Saya bilang pada Nci, bagaimana kalau obatnya saya bawa lalu saya ambil uang dan diantarkan di mari. Sebab obat itu memang sedang dibutuhkan dan saya terpepet waktu untuk segera berangkat pengajian. Awalnya saya yakin bahwa Nci akan meringankan beban saya. Namun, ternyata saya salah. Ia tidak membolehkan saya membawa obat dengan alasan uang obat akan disetorkan kembali. Saya setengah memberikannya kepercayaan bahwa saya segera kembali ke apotek dengan membawa uang Rp 20.000,00 sesuai harga. Namun, lagi-lagi permintaan saya ditolak. Saya tidak memperpanjang keinginan saya. Saya membalikkan badan lalu pergi dengan hati yang sedikit kecewa.

Akhirnya saya memilih untuk pulang. Melihat kondisi bapak yang tengah sakit, saya bergegas mengambil tas ransel dan segera membeli obat. Akan tetapi, mungkin inilah yang dipegang teguh: harga diri. Bila penolakan itu terjadi, pantang datang kembali. Kemudian, saya menarik gas motor. Mencari apotek yang jangkauannya lebih jauh dari apotek yang ada di dekat rumah saya. Saya berharap harga yang saya dapatkan jauh lebih murah, namun perkiraan saya salah. Harga obat cukup mahal dibandingkan apotek sebelumnya. Sebal saya makin jadi. Terlebih tukang parkir dengan mudahnya menarik uang parkir.

Belajar dari kejadian kemarin ada beberapa hal yang bisa saya ambil hikmahnya. Tiap manusia berhak tak percaya terhadap lawan bicaranya meski telah melakukan transaksi ataupun komunikasi apa pun. Lagi-lagi saya katakan itu adalah hak preogatif individu, orang lain tak bisa memaksa. Akan tetapi, saya yakin Allah senantiasa memberikan kelembutan hati pada hamba-Nya. Lantas, saya hanya bertanya jenak, di mana letak hatinya? Padahal saya jelaskan bapak sedang sakit dan butuh segera obat, sementara wajah pucat dan tubuh lemas saya tak bisa ditampikkan di hadapan retinanya. Namun lagi-lagi ia bersikukuh.

Lantas, mempertahankan harga diri, itu yang utama. Bila kepercayaan yang diminta tak dihirau, tinggalkan adalah pilihan bijak. Meskipun pada kasus yang saya hadapi, saya mesti berkeliling cukup jauh dan mendapatkan harga lebih mahal. Namun, saya rasa itu adalah cara saya memuliakan diri saya dibandingkan saya kembali lagi membawakan uang yang pas. Ah, semoga tulisan ini kelak dapat melembutkan hati kita sebagai insan Allah. Ah, semoga saja ini sajian tambahan multivitamin kita di pagi ini. Semoga ada manfaat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline