Lihat ke Halaman Asli

Kurangnya Tenaga Penyuluh Pertanian di Indonesia

Diperbarui: 18 Juni 2023   16:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Dokumentasi Penulis

"Satu orang penyuluh bisa megang 20 poktan, Mbak."

Begitulah jawaban penyuluh BPP Kecamatan Taktakan, Kota Serang, Provinsi Banten saat penulis wawancarai pada hari Kamis, 11 Mei 2023 lalu.

BPP atau Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Taktakan, sejatinya hanya satu dari sedikit BPP di Kota Serang yang masih aktif. BPP yang terletak di Jalan Raya Taktakan Desa Cilowong itu hanya diisi oleh 4 orang penyuluh dan beberapa staf operasional. BPP ini membina 6 kelurahan dengan keseluruhan Kelompok Tani (Poktan) dan Kelompok Wanita Tani (KWT) berjumlah 78.

Sebenarnya, waktu itu penulis datang bukan untuk membahas tentang beban kerja penyuluh, melainkan lebih untuk mengamati metode penyuluhan apa yang mereka pakai terhadap petani untuk tugas praktikum mata kuliah Metode Penyuluhan Pertanian. Namun, karena topiknya bersinggungan, kami jadi membahas hal tersebut.

Salah satu penyuluh, sebut saja Pak Edi, mengatakan bahwa tugas penyuluh bukan hanya membantu petani dalam menghadapi permasalahan di ladang, namun juga seringkali diminta untuk memberi solusi terkait masalah perekonomian keluarga petani secara umum. Selain itu, pekerjaan yang mengharuskan penyuluh untuk mengakrabkan diri dengan petani seringkali memakan banyak waktu dan tenaga. Terlebih jika kelompok petani yang dibina melebihi kapasitas penyuluh.

Kurangnya tenaga kerja penyuluh pertanian bukan hanya terjadi di BPP Taktakan, namun juga hampir di seluruh BPP yang ada di Indonesia. Menurut data BPPSDMP Kementrian Pertanian tahun 2022, Jumlah penyuluh terus menurun selama 3 tahun terakhir. Dari yang awalnya berjumlah 67.281 pada tahun 2020 menjadi 27.434 pada tahun 2022.

Kurangnya tenaga kerja penyuluh di Indonesia salah satunya disebabkan oleh keengganan generasi muda untuk menekuni profesi tersebut. Bukan hanya penyuluh, namun juga profesi di bidang pertanian secara umum. Kebanyakan anak muda lebih memilih bekerja sebagai pekerja kantoran dibanding bekerja di bidang pertanian. Hal ini disebabkan karena perubahan sosial yang tadinya bersifat agrikultural berubah menjadi industrial.

Selain beban kerja yang berat dan perubahan sosial, rendahnya kesejahteraan penyuluh juga menjadi salah satu faktor mengapa generasi muda enggan menjadi penyuluh. Dari informasi yang penulis peroleh, gaji pokok penyuluh pertanian hanya berkisar Rp 1.700.000 untuk lulusan SMK hingga D3 dan Rp 2.500.000 untuk lulusan S1/sederajat. Hal ini relatif tidak sepadan dengan tenaga dan waktu yang dikerahkan sebagai penyuluh.

Penyuluh sebagai pendamping petani dalam meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan keluarga memiliki peran penting dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Untuk itu, peningkatan kualitas, kuantitas, dan kesejahteraannya perlu dipertimbangkan sebagai katalisator perubahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline