Lihat ke Halaman Asli

Desta Handra Robby

Penulis merupakan seorang mahasiswa S1-Ilmu Ekonomi, Universitas Jember. Aktif dalam kegiatan sosial dan gerakan.

COVID-19 dan Kegagalan Cara Berpikir Aristokrat di Negara Dunia Ketiga

Diperbarui: 15 Mei 2020   06:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Perry Warjiyo jawab usulan nyeleneh DPR-RI)

Oleh :

Desta Handra Robby

Mahasiswa SI, Ilmu Ekonomi, FEB

Universitas Jember.

Akhir ini, pemberitaan terkait pencetakan uang sebanyak-banyaknya yang diusulkan oleh lembaga legislatif kita sebagai bentuk mitigasi dampak sosial dalam penanganan COVID-19 di tanah air, hal ini dinilai sebagian ekonomo dalam negeri tidak memahami sistematika keuangan. Karenannya sebuah usulan yang diajukan DPR-RI tersebut dianggap ngaco dan asal-asalan, dengan tidak mempertimbangkannya dampak yang diakibatkan dari pencetakan  uang sebanyak-banyaknya tersebut. Apabila kita menarik konsep usulan DPR-RI tersebut terlepas benar atau salah, serupa dengan buah pemiikiran dari MMT (Modern Monetary Theory) atau dalam bahasa Indonesianya Teori Moneter Moderen, sebuah antitesis dan pembaruan dari teori-teori moneter klasik. Pada perkembangannya, MMT selalu disuarakan pada saat perekonomian mengalami depresi. Tujuan kampanye momentum ini nantinya dapat menarik simpati umum dan menilai bahwa terjadi kecacatan atas teori-teori moneter klasik. Hal ini sah-sah saja, namun di tempat asalnya “Amerika Serikat”  MMT masih menjadi buah perdebatan yang tak berujung,  artinya masih terdapat kekurangan dalam teori moderenitas moneter tersebut dan dinilai naif.

Sebagaimana kritik seorang ekonomon asal Amerika, Thomas Palley. Palley menganggap bahwa MMT teralalu naif dan tidak bertanggung jawab, mengingat implikasinya terhadap negara-negara berkembang di Amerika Serikat seperti Brazil dan Meksiko. Tak hanya Palley, Penerima nobel “Krugman” juga menentang MMT yang dikonsepsi oleh Wallen Mosler, menurutnya apabila MMT ini di aplikasikan maka akan berakibat pada hiper-inflasi. Kritik dan pertentangan tersebut pada dasarnya mampu kita pahami, bahwa penerapan dan aktualisasi MMT ditengah perekonomian yang sedang tidak sehat bukanlah sebuah solusi. Terlepas usulan dewan legislatif yang mulia kita terilhami dari MMT atau tidak, kiranya kritikan-krritikan diatas dari para ekonom dunia mampu menjadi sebuah rambu-rambu dalam menentukan sebuah langkah ataupun kebijakan. Dilain hal, upaya kebijakan instrumen moneter yang dilakukan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral kita telah memberikan dampak positif bagi stabilitas keuangan di Indonesia, walaupun kebijakan tersebut harus diimbangi kebijakan fiskal yang matang sehingga mampu memberikan power dalam menjaga stabilitas dan pembangunan baik di masa pandemi ataupun pasca pandemi.  Terlepas dari pendapat dan kritikan di negara asalnya, perlu kita pahami dan resapi apabila MMT tersebut dijalankan, bagaimana dengan keadaan pasca pandemi? terlebih besaran peredaran uang yang diusulkan sebanyak Rp 4.000 Triliun? Siapa yang mampu menyerap?. Hal tersebut sampai detik ini yang tidak mampu dijawab oleh MMT, terlebih dampak yang diakibatkannya tidak main-main. Apakah kita mau, sudah jatuh tertimpa tangga? tentu saja tidak. Selain berampak pada sektor riil, kebijakan yang apabila direalisasikan tersebut memberikan dampak rentan pada stabilitas keuangan, terlebih nilai tukarnya. Dilain sisi, turunya nilai tukar tersebut juga berdampak pada penarikan investasi (modal kapital) dan uang sudah tidak memiliki nilai lagi. Pengambilan langkah yang dilakukan BI selaku bank sentral dengan injeksi likuiditas keuangan ke perbankan (dalam kebijakan Quantitative Easing )  sudah dinilai cukup dalam menjaga stabilitas ditengah masa ketidakpastian ini. Terlebih beberapa kebijakan dengan penurunan GWM serta Penjualan SBN di pasar sekunder merupakan langkah yang cukup aman. Dilain hal, sedikit pemahaman bagi aristokrat yang mulia, negara kita bukanlah negara yang terfokus pada sektor industri. Dalam datanya, Indonesia masih mengalami defisit impor ± 3,20 miliar USD per-2019. Melemahnya nilai mata uang rupiah, yang diakibatkan usulan pencetakan uang di negara dunia ketiga bukan lagi musibah, melainkan kiamat. Kita mampu berkaca kepada zimbawe yang sampai detik ini masih mengalami hiper-inflasi, akibat pengambilan kebijakan yang salah.

Jokowi naikan iuran BPJS, DPR-RI diam.

Terlebih, ditengah pandemi yang menghambat pemasukan rakyat kecil terhembus berita kenaikan iuran jaminan kesehatan BPJS (padahal sebelumnya telah diputuskan MA, iuran dibatalkan naik) baik kelas 1, 2, dan 3 semakin menjadi dan  membuat sesak nafas rakyat. Dilain hal, kondisi pangan kita yang semakin terkikis, dikarenakan terlalu bertumpunya tuan dan puan aristokrat pada impor dan penghambaan investasi yang tidak berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar berakibat nestapa bagi rakyat di tengah kepungan virus dan kelaparan. Apakah kiranya tuan dan puan mampu menjawab persoalan riil ini ? semoga saja dapat terjawab dengan akal dan hati yang bersih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline