Lihat ke Halaman Asli

Desta Handra Robby

Penulis merupakan seorang mahasiswa S1-Ilmu Ekonomi, Universitas Jember. Aktif dalam kegiatan sosial dan gerakan.

Covid-19, Gonjang-ganjing Stabilitas Keuangan dan Perekonomian?

Diperbarui: 9 April 2020   10:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Tiga bulan berjalan, pemberitaan kita terfokus pada persoalan dan penanganan pandemi virus corona (COVID-19) yang bermula di kota Wuhan, Tiongkok. Sebagian besar negara menerima dampak negatif dari pandemi tersebut, baik dalam hal kemanusiaan dan stabilitas dalam negeri. Begitu juga yang dirasakan oleh Indonesia, dengan dampak yang disebabkan pandemi corona tersebut telah mengakibatkan 240 orang meninggal dunia dan 2.956 positif (8/4). 

Selain berdampak terhadap kesehatan fisik, keberadaan pandemi ini juga berakibat pada stabilitas perekonomian dan keuangan. Hal ini yang dirasakan oleh Indonesia beberapa minggu yang lalu, dengan ditandainya pelemahan  nilai rupiah dan banyaknya investor yang menarik  mundur investasinya.

Berkaca atas kejadian yang pernah dirasakan oleh Indonesia pada tahun 1997-98, Indonesia yang pada waktu itu diterpa krisis keuangan (krismon), dan badai El Nino yang berakibat pada penurunan produksi terutama pangan. 

Menjadi sebuah komplikasi akut atau bisa disebut sebagai musibah besar yang dampaknya tidak main-main. Kenaikan harga pangan melonjak tajam, dilain hal keberadaan inflasi yang tidak terkendali dan tinggi (hiperinflasi) berdampak terhadap sektor riil, sehingga banyak perusahaan yang colapse dan terpaksa melakukan PHK besar-besaran. 

Tidak hanya terpaku pada satu sejarah itu saja, pada tahun 2008, ketika pertumbuhan perekonomian dan stabilitas keuangan kita dalam kondisi baik, badai Subprime mortage masuk begitu saja tanpa permisi ke rumah kita. Alhasil terjadi pelambatan pertumbuhan ekonomi, dan yang memprihatinkan adalah keringnya likuiditas yang diakibatkan penjualan saham dan surat berharga oleh investor untuk mendapatkan dollar (upaya penyelamatan kapitalnya).

Dari uraian sejarah yang pernah kita rasakan tersebut, terdapat point-point penting yang dapat kita refleksikan pada persoalan yang tengah kita hadapi saat ini, di masa pandemi COVID-19. Diantaranya yang telah terjadi akhir-akhir ini dalam ruang keuangan adalah dengan penguatan stabilitas keuangan yang dilakukan oleh BI yang pada mulanya rupiah terjadi pelemahan hampir mendekati 17.000 berangsur menguat di kisaran Rp 16.000/USD, adanya kebijakan terkait penanguhan masa kredit, dan pengoptimalan pasar keuangan domestik yang sempat terdepresiasi. 

Mengutip penyampaian Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo disaat publikasi hasil RDG-BI (Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia), Keberadaan cadangan devisa kita (per-februari) cukup lebih dari cukup, dengan nilai 130,4 Miliar USD (sama dengan 7,7 bulan import), ujarnya. Menilai dari beberapa point yang telah disampaikan RDG-BI , memberikan indikasi bahwasanya keadaan stabilitas keuangan atau moneter kita cukup bisa menghadapi pandemi ini. 

Di lain waktu, dalam siarannya Gubernur BI tersebut juga telah melakukan beberapa langkah untuk menjaga (unsur kehati-hatian) stabilitas keuangan dengan melakukan Second line of defence, dan melakukan kerjasama dengan FED US dalam penyediaan repo line apabila BI perlu liquiditas USD untuk stabilitas rupiah dengan besaran 60 Miliar USD. Bukannya berlebihan, kebijakan ini diambil sebagai bentuk “Bahtera Nuh” apabila terjadi banjir secara tiba-tiba.

Terlepas dari persoalan persiapan stabilitas keuangan yang lebih matang dari otoritas moneter, pemerintah sebagai otoritas fiskal tampaknya kelabakan mengahadapi persoalan wabah pandemi ini. Pada mulanya keberadaan pandemi yang melanda hampir seluruh negara di dunia ini ditanggapi dengan santai dan dijadikan bahan guyonan oleh para aristokrat negeri ini. 

Pada tanggal 2 maret merupakan awal yang menyeramkan atas guyonan dan rasa jumawa yang menganggap remeh persebaran wabah pandemi COVID-19 asal Tiongkok tersebut. 

Berbagai kebijakan yang bersifat urgentic salah satunya dengan relokasi anggaran APBN dan APBD untuk penanggulangan COVID-19, pembentukan PP terkait PSBB atau karantina wilayah, dan yang paling terbaru adalah percepatan alokasi kartu pra-kerja sebagai bentuk kompensasi dan meredam gejolak sosial oleh negara terhadap 1,2 juta buruh yang ter-PHK akibat dampak wabah pandemi ini. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline