Lihat ke Halaman Asli

Dessy Yasmita

valar morghulis

Pengarang yang Berani, tetapi Pengecut

Diperbarui: 18 Desember 2020   16:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Alkisah ada sebuah negeri pengarang yang makmur. Pengarangnya konon banyak yang terkenal. Pembacanya garis keras setia pada pengarang pujaannya. Singkat cerita, setelah dihiasi drama internal,  peraturan baru pun dibuat. Entah berapa banyak, tetapi dari beberapa yang terasa lucu, ada satu yang benar-benar lucu. Peraturan itu menyebutkan bahwa warga tidak boleh mengkritik pengarang yang telah terbit bukunya secara terbuka. Hah? Apahhhh? Warbyasah. Mentalitas macam apa, ini?

Saya bingung. Zaman apa sih, ini? Orde pengekangan sudah lama berlalu. Kok mau mengkritik saja harus lewat jalur bisik-bisik? Masih merasa kritik itu mempermalukan? Takut bukunya gak laku? Takut derajatnya turun? Terus ngapain nulis? Ngapain nerbitin? Ngapain---

Ah, kaswani, eh, kasihan sekali pengarang-pengarang itu. Mereka berani menulis, tetapi takut pada kritik. Berapa kali harus saya bilang kritik itu untuk memberi masukan? Lagian, kalau berdebat pun, apa salahnya? Sepanjang debatnya intelektual, bukan debat kusir.

Atau ... masihkah mereka tidak bisa membedakan mana 'menghujat', mana 'menghina', dan mana 'kritik'?

Bayangkan ketika kita merdeka dulu, pengarang-pengarangnya cengeng saat dikritik. Pasti sastra kita jalan di tempat. Mari maju ke tahun 1977. Mochtar Lubis berpidato dengan judul Manusia Indonesia, sebuah kritik superkeras dari sastrawan yang merangkap jurnalis, yang sudah merasakan bui. Pidatonya mengundang reaksi; balas-membalas opini di koran pun terjadi antara Lubis dan beberapa cendikiawan. Terus apakah Pak Lubis akan bilang, "Karena sudah saya bacakan pidatonya, kalian tidak boleh kritik lewat koran. Bolehnya ngobrol di rumah saya saja." Gitu? Ya, enggak lah, Julidnem!

Kalau kalian mengarang, lalu tidak bisa mempertahankan karya kalian, disentil dikit, langsung mewek ... mending nulis diary sajalah. Berapa kali sudah saya bilang? Percuma. Kalian menulis terus maunya dikritik lewat jalur belakang, kalian cuma pengecut. Beraninya cuma dipuji. Kalau dikritik tak boleh orang tahu.

Eka Kurniawan itu pernah 'ribut' dengan seorang kritikus. Seri pertama Supernova milik Dewi Lestari dikritik habis di koran-koran. Walaupun pengarang-pengarang ini, misalnya, kelihatan emosional menjawab, tetapi setidaknya mereka saling 'berbalas pantun' lewat jalur terbuka. Juga hak mereka untuk membela karya di depan umum.  Kritik bukan soal menang atau kalah. Mendapat kritik tidak berarti buku tidak akan laku. Malah bisa mendongkrak penjualan. Jadi, apa ruginya menjawab kritik? Bukankah ini malah kesempatan untuk branding bahwa sebagai pengarang kalian mampu mempertanggungjawabkan tulisan kalian, meski cuma fiksi?

Benar pidato Pak Lubis, orang Indonesia itu masih keningrat-ningratan. Kritik itu tabu. Pengarang masa kini adalah raja untuk dipuja dan dipuji. Isi bukunya? Jangankan isi, judul pun banyak yang picisan. Namun, kalau tulisan kalian memang berisi dan mencerdaskan, mengapa takut? Ayo, hadapi kritik. Ini baru pemberani. Bukan cuma berani judes waktu belum menerbitkan buku atau mengandalkan dukungan cheerleaders garis keras, lalu giliran buku terbit, bikin dinding kayak Trump.

Ngapain sih kalian jadi pengarang di bawah tempurung?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline