Jika memungkinkan, lebih baik anak itu tidak ada. Bukannya tidak mau bertanggung jawab, tetapi waktunya sungguh tidak tepat. Damar belum mendapat pekerjaan baru dan membawa berita ini ke rumah sama dengan memicu perang nuklir. Damar benci harus berbicara dengan mereka. Dia bisa membayangkan olok-olokan dari ibunya. Mungkin juga dari kakak dan adiknya. Entah apa yang akan dikatakan ayahnya.
Menggugurkan kandungan jelas pilihan terbaik. Namun, Damar tahu tidak semua orang suka dengan pilihan itu. Setidaknya karena gadis itu diam terlalu lama, Damar menyimpulkan permintaannya salah. Jadi, memberitahukan orang tuanya sudah tak mungkin dihindari, tetapi bisa diulur, kan? Damar perlu mengulur karena dia tidak tahu bagaimana cara menyampaikan berita ini tanpa menimbulkan perang nuklir.
Sialnya, setelah dua hari, gadis itu telah menuntut jawaban dan tanggal. Tak punya pilihan, Damar membawa bendera putih dan maju ke meja perang.
+++
Wajah masam orang tuanya bertabrakan dengan wajah khawatir orang tua gadis itu. Setelah perkenalan basa-basi, kedua pihak terdiam beberapa saat. Mungkin menunggu inisiatif pihak lawan.
Seperti yang sudah diduga, orang tua Damar pun marah besar saat Damar membawa kabar itu. Mereka merasa hanya Damar yang selalu berusaha mempermalukan keluarga. Rapat keluarga itu berfokus pada bagaimana Damar akan menyelesaikan masalah. Berapa gaji Damar, apa pekerjaannya sekarang, berapa biaya persalinan dan kebutuhan bayi per bulan, termasuk biaya perkawinan, walaupun turut membicarakan hal lain yang lebih krusial.
"Ke KUA saja sudah cukup kalau memberatkan. Damar juga sanggupnya segitu." Ketus memang kata-kata Damar, tetapi dia mulai jengah disudutkan.
"Kamu pikir semudah itu? Apa kata keluarga nenek-kakek kamu, belum lagi kolega Mama-Papa?" Ibunya juga membalas ketus. "Kamu itu tinggal satu-satunya anak Mama yang belum kawin, Mar! Orang-orang pasti heran kalau kita tidak bikin pesta."
"Mungkin nikah tamasya saja. Kita cukup bikin pengumuman di koran," saran kakaknya.
"Ya, tapi tetap saja orang akan tahu kalau ini perkawinan akibat kecelakaan. Kita tetap akan mengumumkan kelahiran anaknya, kan?" Si adik ikut buka suara.
Sang ayah yang dari tadi diam, menerawang, "Ya, orang akan menghitung."
Damar merasa kian jengah. "Nanti saja kita pikirkan. Sekarang kita tentukan dulu kapan menemui keluarga Hastin."