Lihat ke Halaman Asli

Dessy Yasmita

valar morghulis

MBA: 1.1 Memutar Waktu

Diperbarui: 7 Agustus 2019   19:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Ia duduk di belakang. Di sampingnya, duduk seorang gadis muda yang termenung menatap ke luar jendela. Belum sepatah kata pun keluar dari gadis itu, atau dirinya, atau suaminya. Semua bisu sejak meninggalkan rumah sakit, seolah-olah sihir mengambil alih.

Seolah-olah dunia sedang berhenti.

Padahal, hanya mereka yang merasakan waktu menjadi lambat dan dunia jadi berbeda. Bagi mereka, mobil bergerak begitu pelan, beringsut. Rasanya seperti tersaruk-saruk di tengah kemacetan. Pada hari-hari biasa, salah satu dari ketiga manusia itu pasti sudah mengomel. Namun, kebisuan masih mengisi ruang, hanya diselingi musik dari radio yang tak didengar oleh satu pun dari mereka.

Perempuan itu merasa isi otaknya entah ada di mana. Rasanya ada ruang kosong di dalam kepala, sementara hatinya seperti ditusuk-tusuk. Ia ingin segera tiba di rumah. Ia ingin lekas tiba. Anak gadisnya belum berpaling dari jendela. Tatapannya entah ke mana. Mungkin menahan rasa sakit. Mungkin takut diajak bicara. Sementara, suaminya yang belum bersuara sejak menerima kabar buruk itu, seperti robot, tidak mau berpaling dari kemudi.

Waktu yang melambat itu akhirnya berhenti ketika mesin mobil mati di garasi. Belum ada kata-kata, hanya gemerincing kunci yang diambil si suami dari dompetnya. Kunci rumah. Seperti antrian obat, kedua perempuan di balik punggungnya berbaris sejajar, dengan si anak yang paling belakang. Si suami hanya ingin segera masuk. Mungkin membuat kopi untuk menjernihkan pikirannya. Mungkin lebih baik besok saja dibicarakan. Pikirannya makin jauh membuat rencana-rencana. Seperti strategi marketing, ia ingin memastikan semuanya akan lancar besok. Selintas, ia mendengar bunyi pintu ditutup dan dikunci. Ia tahu, semua sudah di dalam rumah, meski tak ingat tadi ia yang membukakan pintu. Pikirannya mendadak menjadi lelah. Ia ingin segera tidur saja. Namun, belum lagi ia merencanakan bagaimana ia mau tidur, kepalanya cepat menoleh ketika mendengar gaduh.

Istrinya sedang menjerit-jerit liar sambil menjambak anaknya. Anaknya sedang mencicit keras sambil mencakari lengan ibunya, berupaya lepas. Ia terpana pada pemandangan itu. Semua omong kosong drama murahan di televisi tengah terjadi tepat di hadapannya. Ia bisa mencium amuk yang lepas bersama keringat. Namun, ia juga mendengar pilu dalam jeritan istrinya. Jeritan itu terasa seperti suaranya sendiri. Hanya saja ia tetap diam, membiarkan adegan kekerasan itu berlanjut karena bagaimana pun, ia tidak akan bisa menghentikannya. Tidak seorang pun bisa menghentikan luka hatinya atau istrinya.

Di sela-sela jari, rambut-rambut putus terasa menyayat kulit. Si ibu tidak merasakan perih cakaran yang mulai membetuk garis-garis merah di lengannya yang putih. Ia hanya merasakan sakit dari rambut-rambut itu. Ia terus menjerit sambil menarik sekuat tenaga. Ia benci pada rambut yang melawan. Ia ingin membunuh rambut sialan itu, segumpalan rambut kelam yang menancap kuat di kepala anaknya.

Seperti janin itu.

Si anak, seperti buduk diterkam singa, masih meronta. Ia merasakan hawa pembunuh dan yang diinginkannya saat ini hanya menyelamatkan dirinya. Dirinya saja. Peduli setan pada yang lain. Peduli setan pada perkataan dokter. Peduli setan pada tes kehamilan. Peduli setan.

Peduli setan. Peduli setan.

Namun, ia peduli. Ia tahu ia harus peduli karena segala yang terjadi pada hari ini seharusnya bukan kejutan. Ia tahu dan ia memutuskan terus berbuat. Janin itu ada karena dia tidak menolak, meski ia tidak menginginkannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline