Lihat ke Halaman Asli

Dessy Yasmita

valar morghulis

Cerpen | Besusu

Diperbarui: 7 Januari 2019   04:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Panasnya bukan main. Seluruh tubuhnya mengilat oleh laburan keringat. Sambil berkipas Nona Lulur mengingat-ingat. Ya, ya, tetapi tak ada yang berkelebat. Seolah-olah ingatan jadi keruh pada hari berpeluh.

Mungkin melulur lebih baik daripada daki menumpuk. Jadilah ia melulur dengan sari bengkuang. Sambil memijat lengan, ia coba mengingat-ingat lagi. Oh, ya! Sekarang ia tahu. Si tukang tahu meminjam duit. Anaknya sakit. Gosipnya. Tapi dia pinjam duit itu pada Bu Pelit. Ya, jelas dapatnya sedikit.

Bu Pelit itu memang pemilih. Kalau tidak murah, mana mau. Kadang seperti kikir. Cek harga sampai letih. Kadang nyindir, "Buat apa (beli mahal-mahal)?"

Kalau Bu Pelit melihatnya luluran, pasti dia sekonyong-konyong akan memonyongkan bibirnya. "Buang duit." Ini baru lulur sendiri. Kalau pakai tukang lulur? "Mimpi jadi putri bangsawan." Pakai mendengus.

Lalu Nona Lulur tersadar. Aroma bengkuangnya telah merambat ke mana-mana. Baunya sudah mendarat di rumah-rumah tetangga. Termasuk Bu Pelit. Oh, tidak! Meranalah pikirannya.

Benarlah saat esoknya arisan. Dengan lantang Bu Pelit mengeluh. "Aduh, kemarin tukang tahu meminjam uang. Gak tanggung-tanggung, minta 80 juta buat beli mobil bak. Apa saya ini bank simpan pinjam?"

Semua diam, mana berani mencela. Tiada pun yang berani tanya berapa akhirnya ia beri pinjaman.

"Habis itu kepala saya pusing. Tadinya saya pikir gara-gara si tukang tahu. Ternyata gara-gara bau bengkuang!"

Yang lain menahan napas. Nona Lulur diam menghela napas. Dia siap-siap diserang tentang perlunya hidup hemat dan cermat. Ini akan jadi kuliah yang panjang menyengat.

Baru saja dia mau membuka mulut, Bu Sadar, yang punya rumah berkata, "Wah, maaf ya, Bu Pelit. Kemarin saya memang mengupas bengkuang buat masak tekwan. Sisanya saya jadikan sari minuman. Ayo, semuanya. Sudah saya siapkan di meja, lho. Mumpung masih dingin. Baru keluar dari kulkas."

Bu Pelit pun melongo. Ya, kalau dengan Bu Sadar, manalah berani dia. Maklum, Bu Sadar itu ketua arisan, riskan untuk dilawan. Berakhirlah Bu Pelit meringis miris.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline