Ia selalu tepat waktu. Semua pekerjaannya diserahkan tepat waktu, sesuai janjinya. Waktu tak bisa diganggu gugat. Wenny yang tepat waktu, kata pegawai di kantornya.
Ia selalu tiba sebelum pukul tujuh. Malas macet, katanya. Sering, akhirnya dia duduk di lobi sambil membaca atau pergi ke kafe kopi di taman kantor.
Hari ini, begitulah dia memanfaatkan pagi yang lengang. Ia duduk sendirian ketika pelayan kafe pun masih mengepel. Wenny sedang malas membaca. Membaca isi media sosial bukan hobinya. Jadi, ia duduk bertopang dagu, menatap jalanan.
Tatapannya kemudian tertuju pada seorang pria yang tergopoh-gopoh datang. Ia memakai kaos, celana panjang dengan banyak kantong, dan memanggul sebuah ransel yang kelihatan berat. Begitu masuk, ia segera membeli kopi untuk dibawa.
Wenny memperhatikan aktivitas itu tanpa berpikir. Ketika si pria membalikkan tubuh, mata mereka saling bertemu. Biasanya Wenny akan segera mengalihkan tatapan. Namun, sesuatu menahannya, meski ia tak tahu mengapa.
"Maaf, apa saya mengenal Mbak?" Pria itu mendekat hati-hati.
"Eh, saya?" Wenny mengedarkan tatapan, tapi memang hanya ia sendiri yang duduk di situ.
"Ya. Apa ada yang salah?"
"Tidak."
"Apa kita pernah bertemu?"
"Tidak. Saya rasa tidak. Mas fotografer?"