Lihat ke Halaman Asli

Dessy Yasmita

valar morghulis

Cerpen | 2198: Klien

Diperbarui: 15 Desember 2018   11:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ada bermacam-macam klien: yang jorok, yang rapi, pemberontak, pemakai, darurat, pembunuh, dokter, dan entah apa lagi. Kau bisa melihat niat mereka cukup dari tampilannya. Setelah dua tahun bekerja di bidang ini, aku mulai bisa membaca gelagat mereka.

Sesuai kontrak kurir pengantar, aku tak boleh berbicara dengan mereka di sembarang tempat dan semua rahasia mereka harus kubawa mati, tapi rasanya tak semudah itu. Sebagai humanoid aku setengah terikat pada Otoritas. Tubuhku telah beberapa kali hancur dan penggantian mesin menjadi satu-satunya untukku berfungsi. Jelas aku punya beberapa kewajiban pada Otoritas sebagai balas budi, tapi data klienku tak pernah mampir di meja mereka.

Aku memang tidak bicara bukan karena tidak bisa bicara. Bicara membuatku memiliki ikatan kemanusiaan, meski hanya ucapan terima kasih. Aku mempelajari manusia cenderung mengikat kedekatan lewat komunikasi. Jadi, menghindari komunikasi berarti menghindari basa-basi. Aku bisa mengamankan pekerjaanku.

Aku tak peduli dengan isi paket yang kuantar. Sepanjang ukurannya kecil dan tak perlu kujinjing, akan kuambil pekerjaan itu. Sistem kurir bisa dijalankan oleh siapapun, manusia atau humanoid mandiri seperti aku.

Kadang aku kasihan (jika ini kata yang tepat) pada klienku. Mereka yang ingin melawan Otoritas hanya memiliki kesempatan berhasil 0,0000001%. Sisanya melawan dengan merusak diri. Contohnya pria itu.

Aku tahu namanya, meski seperti nama palsu. Tubuhnya selalu pucat, kurang terekspos sinar matahari. Ia seorang pengamat, mungkin dulu seorang ilmuwan. Caranya menatap selalu mengandung keingintahuan sekaligus kewaspadaan. Ia memiliki suara medium. Tidak keras, tidak rendah. Dengan analisis tampilan, aku bisa melihat jejak tetrahydrocannabinol, nikotin, acacetin, entheogen, salvinorin A, dan sederet nama lain.

Kami sering berpapasan di jalan. Ia selalu melewatiku dengan setengah menunduk. Mungkin itu yang disebut dengan berpikir. Aku sering penasaran pada kelakuannya. Ia jelas tidak nyaman di ruang terbuka. Analisis tampilan memberikan tingkat keringat dan detak jantung yang meningkat. Namun, kudengar kebencian juga memberi efek yang sama. Mungkin ia tahu aku humanoid.

Orang cenderung membenci jenisku. Kaki tangan Otoritas, katanya. Tidak tepat, tapi benar 50%. Aku tidak memberi nama klien, tapi aku memberi nama penyedia. Hanya saja hari ini bukan hari baik. Otoritas tak menungguku pergi. Mungkin kehancuran sebuah humanoid tak punya arti. Kadang aku iri pada manusia. Aku ingin menjadi manusia. Mereka yang dianggap sampah pun masih dihargai karena mereka manusia tulen.

Sebelah kakiku hancur 90% dan rembesan cairan menyisakan 60% fungsi dalam sistemku. Beberapa papan telah berstatus malfungsi. Aku tak bisa melakukan perbaikan diri. Aktivasi penghapusan memori visual kunyalakan. Aktivasi pendinginan.

Kudengar langkah mendekat, bertanya apakah aku baik-baik saja. Pria kesukaanku berdiri di situ. Takjub. Mungkin. Aku tak bisa melihatnya karena semua fungsi tenaga kupusatkan pada dua perintah terakhir.

Data terakhir tentang dirinya tak ingin kuhapus. Kalau bisa kuputar, akan kutonton. Namun, waktuku tinggal 200 detik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline