Lihat ke Halaman Asli

Dessy Yasmita

valar morghulis

Cerpen | 2198: Kurir

Diperbarui: 15 Desember 2018   12:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rambutnya memang pendek seperti laki-laki, tapi kau tetap bisa mengenalinya sebagai perempuan. Aku selalu melihatnya datang memakai rok, panjang atau pendek.

Ia selalu datang, menyodorkan paketku, menerima uang, memberi anggukan kecil, lalu pergi. Begitu saja. Tak sekali pun ia bicara. Kadang aku berkhayal, ia berbicara. Suaranya lembut. Cenderung malu-malu. Mungkin hampir seperti gumaman.

Kadang aku berpapasan dengannya di jalan. Namun, aku pura-pura tak melihatnya. Ia juga tak menghentikanku. Tentu saja. Sudah aturan kalau klien dan kurir pengantar tidak saling kontak di tempat umum. Namun, ia kurir yang paling aneh, menurutku. Selain tidak bicara, ia tidak pernah menggerakkan kepalanya ke sana-sini. Bahkan, di tempat sekali pun, ia seperti tidak tertarik dengan jualan kaki lima. Kurasa, ada bom pun, ia geming.

Akhir-akhir ini aku sulit mendapatkan pesananku. Jumlah penyedia dan kurir pengantar berkurang dengan adanya serangan-serangan Otoritas. Aku mulai merasa sakit. Namun, harus ambil risiko untuk mencari sendiri kebutuhanku. Begitulah awalnya aku beberapa kali berpapasan dengannya.

Dari pertemuan yang sekilas-sekilas itu, kusadari ia selalu memakai sesuatu yang berwarna merah, entah bros, syal, jaket, sweater, atau roknya. Ia tak pernah membawa tas. Sepertinya ia spesialis pembawa pesanan ringan atau barangkali ingin bergerak leluasa.

Hari ini aku harus pergi ke 'pasar', menemui penyedia baru setelah penyedia yang lama dibunuh Otoritas. Aku berjalan melewati gang-gang sempit dan pemukiman kumuh. Ya, pasar yang kumaksud cuma rumah biasa. Namun, letaknya cukup tersembunyi. Transaksiku memuaskan dan aku pun pergi.

Baru sepuluh meter kutinggalkan si rumah penyedia, kudengar bunyi keras. Aku terlempar beberapa meter. Raungan sirene. Teriakan orang-orang. Bunyi ... petasan?

Kepalaku sakit, tapi aku berhasil bangkit. Asap mengepul dari sebuah tempat. Apakah itu rumah penyediaku? Dor. Dor. Dor. Petasan lagi? Kulihat pesawat Otoritas melayang. Beberapa pengumuman lewat pengeras suara yang tak bisa jelas kudengar. Aku mengerti. Penyediaku pasti dibunuh. Sial.

Aku memutuskan untuk bersembunyi di sebuah gang. Jalan-jalan pasti sudah dikepung. Percuma berusaha keluar. Atau lebih baik paketku saja yang kubuang. Ya, pilihan ini lebih masuk akal.

Tepat sebelum tentara Otoritas berpapasan denganku, paketku sudah kulempar. Mereka sempat menanyaiku, kujawab seperlunya. Mereka berlalu. Aku pun melangkah, kembali masuk ke gang, tak terlalu jauh dari tempat ledakan. Kucium bau yang keras berasal dari kedalaman gang.

Dalam keremangan, aku melihat seseorang tergeletak. Buru-buru kudekati. "Kau tak apa-apa?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline