Lihat ke Halaman Asli

Dessy Liestiyani

wiraswasta, mantan kru televisi, penikmat musik dan film

Mempertanyakan Batasan Stand Up Comedy dari Kasus Gautama

Diperbarui: 17 Juni 2024   21:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: www.wikipedia.com

Pagelaran stand-up comedy berjudul SUCI X ditayangkan Kompas TV tahun ini begitu menarik perhatian saya. Bukan saja karena acara ini mampu bertahan sampai sepuluh musim, sesuatu yang cukup jarang terjadi bagi sebuah program televisi ditengah perubahan selera menonton masyarakat, namun juga karena para kontestannya yang menurut saya lebih beragam dibanding musim-musim sebelumnya.

Bagi saya, kontestan menjadi daya tarik utama ketika saya menonton sebuah acara kompetisi. Kemasan, konsep, juri, atau host, menjadi tetek bengek selanjutnya yang saya pertimbangkan untuk menonton acara tersebut. Tapi untuk sebuah acara kompetisi, kontestan lah yang menjadi "jantung"nya acara. Dan di SUCI X ini, saya melihat paling tidak ada tiga "ragam" kontestan yang memberikan warna berbeda.

Pertama, kehadiran kontestan yang perform berbahasa Inggris. Nggak cuma satu, tapi dua, dan masih bertahan sampai tulisan ini dibuat. Kedua, kontestan disabilitas bernama Budi yang terus dan terus saja saya tunggu penampilannya setiap minggu karena kepiawaiannya mengolah materi disabilitas membuat kita sebagai pemirsa tidak merasa jengah. Lalu yang ketiga adalah Gautama, kontestan yang punya ciri khas bermain tebak-tebakan. Ketiga "jenis" kontestan tersebut menurut saya sukses menjadi daya tarik acara ini, sehingga di luar itu bagi saya kontestan-kontestan lainnya justru jadi terlihat biasa saja.

Jelas saja saya menyayangkan ketika beberapa waktu lalu, salah satu "indikator" tersebut ternyata bermasalah, justru dengan salah satu juri. Mungkin pembaca sekalian juga mengetahui "peseteruan" yang melibatkan Gautama dengan Ernest Prakasa sebagai salah satu juri SUCI X saat itu, yang merasa tidak sreg kalau tebak-tebakan dimasukkan sebagai materi stand-up comedy. Sementara Raditya Dika, juri lainnya di pagelaran ini yang juga dikenal sebagai salah satu komika di Indonesia, ternyata justru tidak masalah dengan materi tebak-tebakan itu.

Bagi saya yang sekadar penikmat tayangan SUCI tiap Jumat malam, perbedaan persepsi ini jelas bikin resah. Keresahan ini, alih-alih menjadi materi stand-up, malah ngendon saja di benak saya dan meninggalkan berbagai pertanyaan yang tidak terjawab bahkan sampai kali kedua Gautama "bertemu" Ernest di panggung SUCI X di minggu selanjutnya.

Siapa sebenarnya yang berhak memutuskan definisi dari stand-up comedy itu? Apa sebenarnya batasan-batasan materinya?

Sayangnya, Ernest kemudian "meninggalkan" kursi juri di minggu selanjutnya. Iya, saya sesungguhnya menyayangkan. Saya merasa keresahan-keresahan saya tersebut sepertinya batal menemukan jawaban "versi Ernest" dikemudian hari, jika menemukan kreativitas materi komedi lain diluar pakem stand-up comedy yang telah dikenal sebelumnya.

Akhirnya, karena Ernest pun sudah nggak ada sementara keresahan saya belum hilang dari kepala, dari hasil penelusuran berbagai referensi saya menyarikan beberapa hal terkait hal ini. Pertama, seseorang dikatakan melakukan stand-up comedy jika ia tampil dihadapan penonton untuk menceritakan keresahan hatinya, kesehariannya, pengalaman-pengalaman hidupnya, serta hal-hal lainnya, dengan tujuan untuk menghibur. Yang membedakannya dengan pertunjukkan komedi lainnya adalah komika biasanya menyisipkan teknik-teknik khas seperti roasting (ejekan), act-out (gerakan fisik), impersonation (peniruan tokoh), dan lainnya.

Kedua, istilah "stand-up comedy" tidak selalu bisa diartikan secara harfiah, melawak (sambil) berdiri. Arti "stand up" itu sendiri berarti "stand up for what you stand for, for what you believe in.". Komika Pandji Pragiwaksono dalam salah satu konten Youtube-nya yang menjabarkan tentang definisi dari stand-up comedy, membuat saya mengerti bahwa sang performa yang melakukan stand-up comedy itu seperti orang yang sedang menyuarakan argumennya, menuturkan pendapatnya, mengkritisi hal-hal yang meresahkannya, atau bahkan menyerang sesuatu. Saya mengintepretasikan bahwa dalam sebuah materi stand-up itu ada keberpihakan terhadap sesuatu.

Saya menduga, hal ini yang mungkin saja membuat tebak-tebakan, yang menjadi ciri khas Gautama, tidak bisa masuk dalam kategori sebagai sebuah materi stand-up comedy. Apa iya tebak-tebakan menyuarakan keberpihakan pada sesuatu? Saya kutip beberapa nih tebak-tebakkannya Gautama di SUCI X yang sukses bikin saya ngakak. "Apa bedanya dipukul sama putar kiri? Dipukul tuh mau marah, diputar kiri itu maumere.". Satu lagi nih, "Pincang, pincang apa yang energik? Pincang Mambo.". Nah, kira-kira keberpihakannya pada apa??? Maumere? Pincang, eh, Pinkan Mambo?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline