Lihat ke Halaman Asli

Hilangnya Senyum Manis Malaikatku

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13395952011972295408

Sudah berhari-hari aku tak melihat senyum manis di sudut bibirnya apalagi di bibir sebenarnya. Aku tahu dia merasa kehilangan. Aku juga tapi aku bukan merasa kehilangan atas apa yang dia ratapi tapi aku kehilangan akan dirinya yang seperti tak bisa lagi tersenyum. Seakan senyumnya menghilang entah ditelan bumi dan ngarai. Aku yang sejak dulu selalu membuatnya tersenyum sekarang aku tak ada daya untuk melakukannya bahkan hanya secuil.

Padahal jiwaku tak pernah meninggalkannya, aku selalu berusaha untuk memenuhi semua maunya. Aku bahkan rela mati, berkorban untuk dirinya, untuk menjaga keselamatannya. Aku tak akan rela hidup tanpa senyum dibibir dan jiwanya,

“Refa makan dulu Sayang”, aku mencoba mendekatinya sekali lagi, sebenarnya sejam lalu aku juga sudah menawarinya makan tapi dia tak menoleh kepadaku barang sejenak. Aku berharap kali ini dia mau memakan makanan yang kutawari meski tidak melihat wajahku.

Dan berhasil dia menoleh padaku mungkin hanya dua tiga detik namun kembali termenung dengan pikirannya. “ Refa katakana pada mama apa yang kau mau Nak, mama akan mencoba memberikanya untukmu”, sekilas Refa menoleh dengan harapan dihati keinginannya akan terkabul.

“Bicara Sayang, mama binggung dengan keadaanmu”, aku memcoba mengiba supaya Refa memperhatikanku.

“Aku ingin dia kembali”, hanya itu kata yang keluar dari mulut mungil putri semata wayangku.

***

Refa adalah anak semata wayangku dari hasil pernikahanku dengan lelaki yang aku cintai. Papa Refa adalah seorang lelaki yang sangat sibuk namun dia tetap memperhatikan keluarga ditengah padatnya jadwal kerja. Sedangkan aku hanya seorang ibu rumah tangga berkesampingan menjaga toko bunga disebelah rumah. Sehingga akulah orang yang paling dekat dengan Refa. Sekarang umur Refa baru tujuh tahun dan dia sudah mengalami depresi.

***

“ Refa mau kemana?”, sapaku halus dari depan toko bunga saat aku melihat Refa keluar dengan kucing kesayangannya Si Dodot. Refa sangat menyukai kucing dan dia sendiri yang memberikan nama kucingnya itu.

Kaki mungilnya mulai beranjak meninggalkan pagar rumah, tapi dia tetap mendengar sapaanku. “ Mau ajak Dodot jalan-jalan Ma”.

Aku tak tahu bagaimana kronologi kejadiannya, tiba-tiba saja Refa berteriak histeris. Aku sangat khawatir, aku takut terjadi sesuatu dengan Refa. Jalanan depan rumah memang lumayan ramai kendaraan. Sontak aku berlari tergopoh-gopoh menuju tempat Refa tadi berdiri.

Aku sangat bersyukur tidak ada luka secuilpun yang terjadi pada malaikatku. Sekejap jantungku berhenti berdetak. Ini anugerah, aku masih diberi kesempatan untuk menciumi malaikat kecilku yang sangat aku sayangi.

Aku mencoba mencari apa yang patut dia teriaki dengan mirisnya. Tergeletak tak bernyawa bahkan sudah tak berbentuk lagi Si Dodot, darah segar mengalir di sekitar tubuhnya yang perkasa.

Tak ku dengar lagi tangisan apalagi teriakan dari malaikatku namun ku pandang matanya yang sayu seakan berkata kembalikan Dodot padaku, aku sangat membutuhkannya. Matanya nanar menatap sesosok yang bergelimang darah. Dia terdiam berdiri seperti patung yang siap diterpa hujan badai atau pun panasnya matahari gurun.

***

Tanah merah masih basah, namun Refa tak beranjak dari tempatnya. Aku sudah menyuruhnya berkali-kali, namun tetap saja. Akhirnya papanya yang turun tangan memaksa untuk segera masuk kamar.

Kejadian itu sudah berlangsung hampir enam bulan lalu. Hingga dia lupa caranya tersenyum dan bercanda ria. Mungkin dia lupa dengan mama papanya dan aku tak ingin semuanya terjadi dengan malaikatku. Aku ingin malaikatku mengepakkan sayapnya untuk terbang ke atas awan menari bersama bintang bukan terpuruk tak berdaya seperti ini. Dia masih punya harapan dia masih punya hidup dan jalan hidupnya pun masih sangat panjang.

Aku tak ingin rasa kehilangnnya membunuh dirinya sendiri, bahkan lebih baik aku saja yang mengalami kejadian itu.

Aku sudah beberapa kali membawanya ke psikiater, namun jawabannya sama saja “ Anak Anda terkena depresi berat”. Dan setiap kali aku bertanya obat apa yang seharusnya aku berikan agar dia kembali seperti semula. Dan semuanya juga menjawab“ Tidak ada obat secara khusus tapi kasih sayang orang tualah yang sangat diperlukan”.

Aku dan suamiku selalu menuruti perintah supaya anak kami segera kembali. Bahkan suamiku mengurangi jadwal kerja dan meetingnya hanya untuk berkumpul dengan keluarga dan lebih dekat dengan Refa.

Aku pun seperti itu lebih banyak mengajak Refa jalan-jalan untuk menghirup udara segar. Seharusnya Refa memang menginjak kelas dua sekolah dasar, namun aku tak tega untuk memasukkannya sekolah. Sudah ku coba menyekolahkannya lagi dengan harapan dia bisa bersosialisasi dan melepas rasa kehilanag itu, namun keadaan semakin memburuk bahkan dia menjerit-jerit di waktu pelajaran. Dan aku putuskan akulah guru sekaligus ibu yang akan memberikan kasih sayang yang tiada habisnya.

***

Mata Refa mulai bercahaya saat memandangku. “Aku ingin dia bersamaku lagi”. Aku tersontak, dia sudah mengatakannya untuk yang kedua bahwa Refa menginginkan sesuatu yang telah mati hidup kembali.

“Refa sayang, sesuatu yang hidup itu pasti akan mati dan akan kembali kepada Penciptanya, begitu pula dengan kita nanti, tidak ada yang tahu kita akan mati kapan”, aku mulai berbicara serius. Seharusnya dia tidak diberikan kata-kata yang berat untuk menjelaskan karenakekuatan otaknya untuk menangkap masih belum seberapa.

“Aku ingin dia kembali Ma”, aku senang Refa mulai memohon kepadaku karena aku tahu dia mulai sadar akan kebinggungannya selama ini.

***

Pagi ini aku mengajak Refa jalan-jalan bersama dengan papanya juga. Aku ingin memberikan kejutan untuk Refa dihari spesialnya ini. Hari dimana umurnya mulai menaik lagi. Aku dan suamiku berencana mengajaknya ke toko hewan.

“ Refa boleh memilih hewan apapun yang Refa suka”,baru kali ini aku melihat senyumnya kembali, aku sangat senang. Aku dan suamiku membiarka Refa membelihewan apapun untuk mengobati hatinya yang lara.

Dia menunjuk ke salah satu keranjang hewan tepat di pojok kanan. “Ma, Pa aku sudah menemukannya, mbak penjaga tokonya mana? Aku ingin segera membawanya pulang”, hatiku benar-benar senang bahkan seperti layang-layang yang berhasil menggapai langit. Dia kembali tersenyum dan aku pun tersenyum.

Namun aku sungguh sangat terkejut ternyata keranjang hewan yang dia tunjuk tidak ada sesuatu pun didalamnya, bahkan hewan sebesar kutupun tidak ada…………

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline