SEPENGGAL KISAH UNTUK MASA DEPAN
Ketika aku menarik kain yang tergerai memanjang di samping kasurku.
Terbangun dari tidur, matahari yang menembus jendela itu mulai menyakiti indra penglihatanku.
Kutarik kembali selimutku. Tak ingin rasanya melewatkan hari ini dengan tidak rebahan di ranjangku.
Karena kutahu besok tidak akan sesantai ini. Besok hari aku akan berangkat meninggalkan tempat favoritku ini. Tak akan ada lagi cerita baru di tempat ini.
Perlahan aku duduk. Termenung. Aku tersadar bahwa besok aku akan memulai hidup di tempat yang baru. Aku beranjak menemui keluargaku yang sedang berkumpul bercengkerama di ruang depan. Mereka menanyaiku, apakah sudah siap memulai petualangan?
Petualangan yang akan menjadi garis besar dihidupku. Yang akan membawa dampak besar bagiku. Aku berdiri dengan tatapan kosong di depan mereka. Dengan tidak menjawab pertanyaan itu, aku melangkahkan kakiku ke dapur. Aku melihat ruangan itu sejenak. Aku berpikir sebentar lagi aku tidak akan mendengar ocehan dari ibuku. Walaupun itu hanya sementara, namun itu rasanya sangat sulit. Bagaimanapun ketika aku di rumah, aku selalu melihat wajah tua yang sudah mulai capek. Aku kasihan. Aku ingin sekali melihat mereka tidak selalu mengkhawatirkan aku dengan berbagai kesusahan yang telah aku buat. Ketika aku sakit beberapa waktu lalu, yang aku lakukan hanya tidur dan membebani mereka.Mereka merawatku dengan baik dan penuh kasih sayang. Selama satu bulan lebih itu aku hanya tertidur di ranjang kecilku.
Aku ingin mereka bahagia dengan adanya masa depan yang cerah di tanganku. Mereka mendukung aku untuk melanjutkan sekolahku. Mereka sangat bersemangat ketika aku mendaftarkan diriku di salah satu Sekolah Tinggi Teologi. Namun hati kecilku masih tidak ingin meninggalkan mereka walaupun nanti akan kembali lagi. Karena sekecil apapun bantuan yang aku berikan pada mereka, sangat mereka hargai dan sangat mereka butuhkan. Tapi kemudian aku berpikir jika aku selalu di depan mereka, kapan aku mandiri?
Esok harinya, aku bangun dan segera bersiap-siap. Kulihat wajah ibuku yang tersenyum namun rasa sedih yang sedikit itu, tergambar jelas di pipinya. Dia mulai berpesan seakan-akan aku akan pergi selamanya. Aku sedikit tertawa. Ibuku ikut tertawa melihat aku sedikit geli dengan sesi itu. Mereka mengenalku dengan sosok yang tidak suka romantis-romantis yang selalu tertawa dan selalu bersemangat. Aku menyalam tangan yang mulai keriput itu. Terlihat jelas gambaran perjuangan yang dilakukannya untukku selama ini.
Aku diantar oleh Ayah ke pelabuhan. Jarak dari rumah ke sekolah itu memang tidak terlalu jauh. Aku berbisik dalam hati, "Ah aku terlalu lebay". Tapi sedekat apapun itu jika tidak bisa melihat sekali sehari atau bahkan sekali tiga hari itu sangatlah menyakitkan bagiku. Aku naik ke kapal, menyeberangi danau yang cukup luas itu dengan penuh air mata. Keluargaku mengenalku dengan seseorang yang sangat jarang menangis dalam hal apapun itu, baik itu sakit atau karena sesuatu hal. Tapi kali itu aku memang tidak bisa menahan air mataku. Apalagi mengingat aku akan sekolah di sebuah tempat yang menciptakan orang-orang yang akan menginjili orang ke jalan yang benar, padahal ayahku sendiri sangat jarang ke rumah Tuhan. Aku jadikan itu sebagai satu niat besar bahwa aku akan pulang dengan membawa perubahan yang besar bagi keluargaku. Selintas dipikiranku, bagaimana aku bisa menginjili orang padahal keluargaku sendiri tidak bisa dijadikan teladan bagi orang sekitar.
Aku sampai di kampus Sekolah Tinggi Teologi itu dengan sambutan dari seorang kakak cantik, dan menunjukkan kamar untukku. Aku berjalan menaiki tangga-tangga kecil menuju asrama itu. Aku seperti berperang dengan pikiranku sendiri. Apakah benar aku di tempat ini untuk menuntut ilmu selama beberapa tahun kedepan. Aku berbisik lirih dalam hatiku, mungkin tempat inilah yang akan jadi saksi perjuanganku nanti. Dan benar saja, hari pertama aku kuliah disini, aku menemukan orang-orang yang memang berbeda dari orang-orang yang kutemui di luaran sana sebelumnya. Kesan pertamaku setelah sampai di tempat ini adalah mereka keren.