Aku telah sampai di dermaga ketika senja berpulang. Menunggumu, berkawan rembulan yang dihimpit bintang-bintang. Malam semakin gulita, aku tahu itu. Namun rindu yang kubawa di saku celana, berpendar. Berwarna jingga, seperti langit sore yang sempat kita lipat dalam kecupan.
Angin malam mengoyak ingatan, tentang kenangan yang seharusnya hanyut di lautan.
"Aku harus pergi. Aku akan memiliki seorang bayi."
"Bayi? Bagaimana bisa?"
Kau melukaiku malam itu, merajam asa yang kutenun berbulan-bulan lamanya.
Maafkan aku, katamu yang berulang hingga kini, yang buatku mengunjungi dermaga saban hari. Aku mengutuk diri, memukul-mukul kepala, menyesali kebodohan-kebodohan karena telah mencintaimu.
Ingin kuminta pada Tuhan untuk menghapus jumpa pertama, agar tidak melahirkan rindu kemudian. Rindu yang haus pertemuan, pelukan juga sentuhan yang tak habis-habis.
Dan sebelum aku menunggumu di tempat ini --dermaga, kulihat anak-anak bermain kelereng di halaman rumah. Dulu aku bisa tertawa seperti mereka, menikmati bahagia. Kini semakin aku tertawa, semakin dalam luka yang kurasa.
"Mas, aku sakit!"
Kutitipkan kabar pada buih, semoga pesanku sampai di telingamu.
"Mas, aku akan menemui istri juga anakmu. Hendak kuceritakan tentang bagaimana caramu mencintaiku."