"Peluklah dia, sayang. Balas setiap cumbunya. Cintailah dia untukku."
Wanita itu mengikat rambut anak gadisnya, mengepangnya jadi dua. Disematnya beberapa kuntum bunga, menyerupai mahkota.
"Kau cantik sekali, pria itu pasti semakin tergila-gila padamu."
Tapi, aku tak ingin, Bu. Berkali-kali penolakan itu menggedor pintu hatinya, memanjat kerongkongan, lalu berlarian di atas lidahnya. Berkali-kali pula gagal melompati bibirnya. Sementara kabut menyelimuti matanya, meluruhkan sesak yang sedari tadi bergejolak dalam dadanya.
Plak!
"Sudah berapa kali Ibu katakan padamu, jangan menangis!"
Plak!
"Jangan lemah!"
Aluna, gadis yang namanya pernah mengisi larik-larik puisi, meringkuk di sudut kamar di bawah jendela yang terbuka. Barangkali ada kupu-kupu yang hinggap di pipinya, meminum air matanya.
Aku bukan boneka Ibu. Aku berhak mencintai laki-lakiku sendiri, bukan laki-laki Ibu. Aluna meratap, memukul-mukul hampir sekujur tubuhnya. Aku jijik pada diriku sendiri.
Ping!