Lihat ke Halaman Asli

DesoL

TERVERIFIKASI

tukang tidur

Cerpen | Dimakan Gerimis

Diperbarui: 22 November 2018   02:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pic: pixabay.com

Saban sore ia menunggumu di balik jendela. Pandangnya terlempar jauh ke ujung jalan. Dari terik hingga gerimis, tak beranjak, terus memangku harap.

Anakmu telah berumur lima tahun. Ia selalu menanyakan kabarmu. Kubilang, kau takkan pulang.

"Ayahmu dimakan gerimis."

"Kenapa, Bu?"

"Sebab gerimis jatuh hati pada Ayahmu."

Aku menyisir rambut anakmu yang bergelombang. Mirip ombak yang selalu pulang ke tepian.

"Ayahmu rela melakukan apapun demi sawah yang dicintainya. Sawah yang kini hampir menenggelamkan rumah kita. Dulu tuaian Ayahmu sangat sedikit. Dan saat kau berada dalam perut Ibu, pernah hampir menjual rumah ini untuk membeli bibit-bibit unggul."

Anak laki-laki yang matanya mirip denganmu, menggaruk-garuk kepalanya, mencoba mencerna kisah tentangmu.

"Ayahmu sore itu menangis. Air matanya hampir membanjiri sawah. Tiba-tiba turun gerimis yang saat itu masih kemarau. Gerimis memeluk Ayahmu. Meluruhkan tubuhnya, yang kemudian hilang dihisap tanah. Hingga pada tuaian berikutnya, bulir-bulir padi menggemuk."

"Berarti Ayah tidak benar-benar pergi, Ibu. Ayah selalu ada di dekat kita. Ayahlah yang membuat padi-padi itu berisi."

Ia girang tak karuan. Menari-nari di halaman. Berlarian ke sawah dengan tawa yang tak terhenti. Dan sejak saat itu aku tak melihatnya lagi. Sama sepertimu dulu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline