Lihat ke Halaman Asli

DesoL

TERVERIFIKASI

tukang tidur

[Miss You] Eleonora

Diperbarui: 19 Oktober 2018   16:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pic: favim.com

Sudah dua jam perempuan berambut hitam sebahu duduk di sana. Berkali-kali ia membuka secarik kertas lalu melipatnya bersama air mata yang berjatuhan seperti hujan, pudarkan setiap rasa yang tertuang di sana. Kemudian ia menatap rembulan dengan matanya yang basah. Basah oleh ribuan kisah pilu. Entah siapa yang ia tunggu di bangku itu.

Dia cantik. Hatiku berkata begitu. Terlebih ketika sinar rembulan menyiram batang hidungnya, seperti perbukitan, dan mataku tergelincir di sana menikmati parasnya yang jelita. Kemudian aku akan mengecup pipinya yang basah, menyesapnya hingga pilu yang dilahirkan dari matanya mengering. Aku ingin sekali berada di sana, di bangku itu sembari memeluknya, membiarkan dirinya mengurai resah pada bahuku.

Perempuan itu seolah mengajak waktu beradu, siapa lebih cepat berlalu, dirinya dari bangku itu atau kenangan masa lalu. Entah mengapa aku menjadi cemburu. Cemburu pada laki-laki yang ia rindui di masa lalu. Laki-laki yang menggerogoti batinnya.

Ia beranjak. Dengan gontai sembari menyeka air matanya, ia merangkul malam, mengajaknya pulang. Aku mengikutinya, mengumpulkan aroma tubuhnya yang tercecer di jalanan. Wangi, seperti kuncup melati.

***

Ini malam kedua sejak mataku tergoda parasnya. Aku masih menunggu, sedari senja hingga langit menebar gulita. Ia belum jua tiba di sana, di bangku itu. Bangku tempat ia cumbui rindu, bangku di mana aku mendadak cemburu.

"Kau terlihat resah. Apa kau sedang menunggu?"

"O, tidak. Hanya ingin menghabiskan waktu di sini."

"Dengan membiarkan kopi buatanku dingin?"

Pria paruh baya itu tertawa, keriput di kedua ujung bibirnya terangkat. Ia berhenti merapikan bangku-bangku kayu, duduk semeja denganku. Matanya menyelidik dan ia mendapatiku tengah berbohong.

"Namanya Eleonora, ia kerap datang untuk menunggu di bangku itu. Pernah aku memberinya kopi, kupikir bisa menyembuhkan sesak dalam dadanya. Rupanya tidak. Kopiku hanya menjadi teman tunggu. Aku mengambil kembali kopiku yang dingin, seperti hatinya kala itu. Kemudian aku mengabaikannya, membiarkannya dimakan sendiri, sampai kau menunggunya malam ini." Pria paruh baya yang duduk di depanku mulai mengangkat cangkir yang belum sempat kusentuh, mungkin karena aku terlalu sibuk menunggu. "Kau bisa menemuinya di kios bunga di ujung jalan. Kudengar, ia kerap membeli setangkai mawar putih di sana. Entah untuk siapa."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline