Lihat ke Halaman Asli

DesoL

TERVERIFIKASI

tukang tidur

[FITO] Perut-perut di Tumpukan Sampah

Diperbarui: 26 Agustus 2016   00:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pic: Putri

Mendung. Kemudian hujan. Satu jam lalu, matahari seakan berada di atas kepala. Bukan aku menolak, hanya karung ini terasa lebih berat. Kemasukan air.

Kutepis kecewa dengan rasa syukur, anak-anakku dapat segera mandi. Tunggu hujan makin lebat, mereka akan berlarian sambil memegang sabun.

Anak sulungku pernah bertanya, “Bu, mengapa kita miskin?”

“Tuhan belum tiba di rumah kita, Nak. Tuhan masih berada di tempat lain.”

“Apa yang Tuhan lakukan di sana?”

“Memberi makan anak-anak yang tidak bisa makan seperti apa yang kau makan, Nak.”

Kulihat kebanggaan pada binar matanya. Ia lupa akan ikan asin yang mengisi perutnya sehari-hari.

Mungkin Tuhan tak akan pernah datang. Dan itu artinya aku telah berbohong pada anakku. Sudah cukup tangan Tuhan lemparkan sampah-sampah itu setiap harinya. Adakah yang lebih membahagiakan selain menikmati sampah-sampah itu?

Kulihat perut-perut di tumpukan sampah. Perut-perut anakku. Aku harus penuhi karungku lalu menjualnya atau mereka akan meringis perangi rasa lapar.

Hujan kali ini membuatku menepi dengan terpaksa. Tiba-tiba kurasakan lelah yang luar biasa. Di antara kerumunan orang, aku melihat Tuhan. Yang kupercayai sebagai Tuhan, berjalan mendekatiku.

Pada telinga-Nya kuberbisik, “Tuhan, bolehkah jika aku tidak pernah dilahirkan?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline