[caption caption="pic: computing.ece.vt.edu"][/caption]
Desol, No. 14
Dokter Jalal yang adalah James, mengarahkan pistolnya padaku. James mendekat secara perlahan. Disentuhnya wajaku dengan tangannya yang dingin. Bibir pistol telah melekat tepat pada pelipis kananku. Aku menelan ludah, menahan gemetar. Keringat dingin mulai mengalir, membasahi dahi hingga dadaku. James mengusap keringat-keringatku dengan lidahnya. Bibirnya menyapu wajaku, turun hingga dada, sampai pada akhirnya ia hentikan seketika.
Aku dengar jantungku berdetak. Keras sekali. Detak-detak ketakutan. Detak-detak berlarian. Detak-detak menggairahkan atas cumbu-cumbu dusta bibir James. Tubuhku memanas. Buatku rindu akan belaian yang telah lama tak kurasakan sejak kepergian Gie dari hidupku.
James melepas jas putihnya. Membuangnya ke lantai. Disusul dengan kemejanya yang berkancing lima. James bertelanjang dada. Mengingatkanku pada dada Gie yang selalu kupeluk di balkon pada senja ketiga. Aku memejamkan mata, hindari tatap-tatap rindu yang kian bergelora merasuk jiwa.
Kurasakan tubuhnya mendekat. Dikumpulkannya rambutku pada genggaman tangan kirinya. Kurasakan hembusan napas yang hangat pada leher bagian belakang. Aku tak bisa menghindar. Tubuhku didekapnya dengan sangat erat. Ia mengajakku berdansa. Terdengar lirih lagu Gloomy Sunday yang keluar dari bibirnya. Lagu kematian – yang mungkin – ia lantunkan untukku.
Kucoba ikuti irama kakinya. Dua kali ke kanan, satu kali ke kiri, satu kali berputar. Aku dan James mengulangnya beberapa kali. Dua kali ke kanan, satu kali ke kiri, satu kali berputar. Kutemani James lantunkan Gloomy Sunday dengan suara dua dariku. Kami lebih mirip sepasang manusia yang sedang jatuh cinta. Cinta sejatuh-jatuhnya.
Aku tak tahan lagi. Kulingkarkan tangan kiriku pada pinggang James. Kusandarkan kepalaku pada dadanya yang berbulu. Sementara tangan kiriku meyusuri pinggulnya. Kurasakan serat-serat kain yang begitu kasar. Tanganku mencari jalan terjauh untuk bisa mencapai pistol yang ia sematkan pada saku depan celananya.
James menurunkan kepalanya, mencari letak bibirku. Ia menciumku. Aku menyambutnya dengan gembira. Kuraba pistol pada saku. Aku hampir menariknya keluar. James melemparkan tubuhku ke atas ranjang. Sebuah tindakan yang sangat tak kuinginkan.
Dipandanginya diriku dengan tatap mata penuh napsu. Tubuh James berkeringat, membuatnya terlihat sedikit coklat. Dia menjatuhkan tubuhnya di atas tubuhku. Dengan sigap, kedua telapak tanganku menahannya.
“Perlahan saja, James.”