[caption caption="gambar: www.8020fashionsblog.com"][/caption]
Matahari enggan tersenyum siang ini. Basahkan kembali baju-baju yang baru saja terjemur. Terlambat. Hujan jatuh saat aku hendak beranjak. Berlari pun akan percuma. Jangan salahkan hujan, sebab turunnya adalah jawaban doa tanah-tanah gersang.
Aku sedikit lega. Kali ini hujan samarkanku dari malu. Butir-butir air mata yang tertahankan, jatuh juga. Tangis selalu punya alasan yang mungkin tak seorangpun mau dengar. Aku tak menuntut telinga untuk menelannya. Cukup aku dan hujan saja yang rasa.
Setibaku di sini, hampa terasa. Sesuatu telah tercabut dari dalam jiwa. Mungkin tertinggal di stasiun kereta. Aku harap, tak seorangpun menemukannya. Tidak juga kau! Lebih baik terinjak atau terlindas roda kereta.
Sejujurnya, aku belum rela. Tentang sebuah malam di mana kita ciptakan rasa bersama. Malam di mana kita telurkan cinta, lalu mengeraminya di balik peluk hangat pemberianmu. Kini yang tersisa hanyalah rindu.
Kenang asyik mengaduk-aduk cangkir rasa, buatku gembira sesaat sebelum pada akhirnya terjatuh pada kesedihan yang sangat. Kenang memang keparat! Buat jiwaku sekarat dan rindukupun mengarat!
***
“Keretaku pukul lima sore.”
“Aku akan tiba di sana setengah jam lebih awal.”
“Apa yang kau rasa?”
“Bahagia.”