PEMBERANTAS ASET PADA KORUPTOR
Kasus korupsi di negara-negara semakin banyak terjadi, termasuk di Indonesia sendiri kebanyakan adalah pejabat yang ingin mengambil keuntungan dengan mencuri aset tanpa izin resmi dan juga ilegal. Oleh karena itu diperlukan suatu rancangan undang-undang tentang tindak pidana korupsi (UU Tipikor) untuk menangani tindak pidana korupsi dengan cara demikian, tentunya untuk membuktikan hasil tindak pidana korupsi perlu dilakukan beberapa proses. Dengan demikian, penyuap dinyatakan bersalah atau tidak.
Dalam perkara pidana sudah dikenal dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kehakiman. Benar, mengatur peran penuntut umum yang dapat bertindak baik di dalam maupun di luar negeri untuk dan atas nama negara dalam perkara perdata dan tata usaha negara (Pasal 30 ayat 2) sebagai Pengacara Negara (JPN).
Model kesengsaraan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TIPIKOR) menuntut jaksa membuktikan kerugian negara. Sedangkan mekanisme penyitaan aset tanpa pembuktian kesalahan mengandung poin yang sangat krusial. Terkait dengan hak asasi manusia dalam Pasal 28-H ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi: "setiap orang berhak memiliki hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia juga telah mengenalkan penyitaan hasil kejahatan. Pasal 39 ayat 1 Huruf a Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa yang dapat disita adalah: benda atau rekening tersangka terhadap terdakwa yang diduga diperoleh seluruhnya atau sebagian dari tindak pidana atau hasil dari suatu kejahatan.
Misalnya, dalam kasus pencurian, barang curian dapat disita sebagai hasil kejahatan jika ditemukan oleh detektif selama penangkapan atau penggeledahan rumah. Begitu juga hasil korupsi, hasil kejahatan jika ditemukan sejumlah uang yang diduga sebagai suap pejabat pemerintah. Harta yang disita kemudian harus dibuktikan dan akan dibuktikan unsur pidana pelakunya.
Kemudian terkait dengan kewenangan Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan TIPIKOR) yang tidak dirujuk dalam teks akademik UU Sita Harta Kekayaan. Hal ini sebenarnya ahistoris dalam semangat pembentukan mahkamah TIPIKOR. Agar penanganan Tindak Pidana Korupsi lebih efektif dilakukan oleh Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi karena memiliki hakim yang sudah memiliki keahlian khusus dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H