Lihat ke Halaman Asli

Ancaman Kosong? Ah Siapa Takut

Diperbarui: 3 November 2019   22:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

" Selain menakut-nakuti, banyak orangtua yang hobi mengancam anak, semata-mata karena kesal lantaran melihat perilaku anak yang tidak menuruti perkataan orangtua".

Seringkali menjadi orang tua merasa jengkel karena melihat anaknya susah untuk diatur. 

Mengancam anak punya efek negatif yang sama dengan menghukum. Terkadang cenderung berpikir ancaman jauh lebih berat dampaknya semata-mata karena kebanyakan orang tua lebih sering mengancam daripada menghukum. Banyak dari kita yang tidak sadar bahwa komunikasi kita dengan anak selama ini adalah ancaman, ayo siapa yang sering seolah-olah memberikan pilihan tetapi tujuannya adalah ancaman.  misalnya: diam! atau ibu turunkan di jalan lalu kamu diasuh sama orang gila. Apa betul dengan pilihan tersebut? apakah anda tega betul betul meninggalkan anak atau hanya saja untuk mengancam agar anak berhenti melakukan sesuatu. Ancaman-ancaman seperti itu lama-lama akan semakin tidak mempan. Kenapa? karena anak akan tahu bahwa anda hanya memberikan ancaman kosong yang tidak mungkin dilakukan. Sesuatu yang seolah-olah pilihan sebetulnya tidak pilihan tetapi pelampiasan kemarahan. Misalnya: ancaman sering muncul dalam bentuk sarkasme.
 "Iya sih kamu lebih capek daripada ibu capek masak dan kebersihan rumah kan?" Padahal,  anaknya bingung mendengarkan curhatan ibunya yang di akhir kemudian dengan ancaman seperti ini,  "nanti kamu rasain ya kalau ibu tidak masakin kamu lagi". Nah sarkasme seperti ini menunjukkan kualitas komunikasi yang buruk dan pada akhirnya begitu anak sudah menginjak masa menjelang remaja dia akan membalas sarkasme anda dengan ungkapan ungkapan sarkas yang lebih menyakitkan hati daripada apa yang dilakukan kita selama ini terhadap anak.

Ada lagi orang tua yang tidak pernah merasa mengancam anaknya padahal sebetulnya itu mengancam pada saat mengajukan pertanyaan-pertanyaan retoris.
  Misalnya, "bagaimana nanti kalau kupingnya copot?".  Pertanyaan-pertanyaan yang sering kali pada saat kita harus refleksikan membuat kita geli,  tetapi sebetulnya bukti dari komunikasi yang tidak efektif.  Pertanyaan retoris seringkali terjadi adalah nasehat berlebihan yang dibungkus dan tujuan kita membuat anak berfikir.
  Padahal sebetulnya yang muncul adalah ketidakpedulian dari anak yang seringkali membuat anak sedih adalah orang tua dengan intensi yang baik sekali berusaha berkomunikasi tetapi tidak sadar bahwa yang dilakukannya adalah memberikan ancaman.

Tujuannya Orang tua ingin anaknya agar melakukan tindakan untuk menjadi lebih baik. Sebaik apapun tujuan dan ancaman tersebut kurang tepat untuk dilakukan




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline