Lihat ke Halaman Asli

Korupsi Menembus Lorong Waktu: Doeloe, Kini dan Nanti

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Korupsi. Kata korupsi tidak asing lagi ditelinga kita. Pada akhir-akhir ini banyaklah kasus pekabat kerah putih melakukkan krupsi, hal ini bukan barang baru lagi, bahkan sejak zaman penjajahan telah mengenal adnya korupsi.

Jika diteliti dengan baik akan kelihatan bahwa korupsi telah berakar jauh ke masa silam, tidak hanaya di masyarakat Indonesia akan tetapi hamper semua bangsa. Menurut Muctar Lubis awal mula kelahiran korupsi sejak masa feodalisme masih berkuasa hingga ke masyarakat modern dengan bentuk-bentuk korupsi yang juga semakin beragam, sejarah panjang koropsi, dan fakta semakin sulitnya mendeteksi fenomena dan kasus-kasus korupsi.

Bahwa di masa feodal di Eropa dan Asia, termasuk Indonesia, tanah-tanah yang luas adalah milik para raj, dan raja menyerahkan pada para pangeran kaum bangsawan untuk melakukan pengawasanterhadap tanah-tanah luas tersebut di berbagai kawasan.

Melalui para pangeran yang ditugaskan melakukan pengawasan pada tanah tersebut,rakyat dan pembesar yang menempati dipunguti pajak, sewa dan upeti.Hasil yang sudah diterima lalu diserahkan pada sang raja dan selebihnya untuk pangeran dan pembesar.Menurut Muctar Lubis kembali menuturkan bahwa :Disamping membayar dalam bentuk uang atau in notura, sering pula rakyat diharuskan membayar dengan’tenaga kasar’bekerja untuk meenuhi berbagai keperluan sang pembesar dan raja.

Situasi yang serupa juga terdapat dalam kerajaan-kerajaan di Indonesia di zaman dulu.Di masa itu, kewajiban-kewajiban kerja paksa dan upeti, yang dibenkan pada masyarakat,dilakukan di dalam kerangka adat, budaya,kebiasaan turun-temurun, dan apa yang dilakukan oleh raja dan pembesar dianggap sebagai sesuatu yang patut.
Praktik-praktik para pembesar yang kini dianggap korup, pada waktu itu,dalam nilai budaya dan masyarakat yang berlaku, dianggap hal yang wajar.Ternyata setelah dilacak jejak akar udaya ini pada stuktur kekuasaan di masa lalu yang disebutnya sebagai ‘birokrasi patrimonial’.Istilah ini bersal dari Max Weber dan didefinisikan sebagai bentuk kekuasaan yang hidup dan berkembang pada masa feodalisme di masa lalu yang masih besar.

Muctar juga menceritakan bahwa pemerintahan colonial Belanda juga pernah hendak melakukan perubahan struktur birokrasi di Jawa yang diihami oleh keputusan Napoleon memperbahaui birokrasi di Prancis tahun 1800, dan merupakan model bagi birokrasi Negara-negara Barat.Semua pejabat birokrasi colonial, termasuk para regent dan bupati pribumi, hendak dijadikan pegawai negeri, tetapi gagasan ini ditolak oleh tuan-tuan feudal Jawa, karena ini berarti mereka kehilangan kedudukan istimewa mereka dan penguasaan mereka atas tanah-tanah luas.

Perubahan tradisi kekuasaan dari pola birokrasi patrimonial sempat berubah saat pendudukan Belanda.Namun, pada saat beberapa pemborontakan dilangsungkan oleh tokoh-tokoh perjuangan kemerdekaan, pola birokrasi patrimonial kembali diterapkan.Sehingga, pihak Belanda mera perlu untuk memulihkan kedudukan istimewa para bangsawan Jawa.

Perubahan terjadi pada pola ini baru terjadi beberapa tahun kemudian, setelah kuasa kononial yang lebih modern, menjahui pola birokrasi-patrimonial.Korupsi dalam kekuasaan birokrasi dianggap sesuatu yang lazim.Masyarakat di waktu itu menganggap segala tindakan yang kini dianggap sebagai tindakan kurupsi adalah sesuatu yang wajar, dan selama masyarakat sebagai sesuatu yang salah.Bahkan, nepotisme dalam birokrasi patrimonial merupakan sebuah budaya yang senantiasa diteruskan antar genarasi.
Menurut Muctar Lubis, pola birokrasi patrimonial, berlangsung dengan anggapan bahwa nilai solidaritas utama harus dilakukan pada sanak saudara dahulu, baru kemudian teman-teman,masyarkat dan suku.Nilai ini masih tetap berlaku disebagian terbesar kalangan anggota masyarakathingga hari ini.

Sehingga sampai sekarang jelas terlihat bahwa unsur-unsur yang mendorong seorang pejabat birokrasi maupun swasta melakukan korupsi dalam segala bentuknya, masih bekerja dengan kuat dalam diri manusia Indonesia hingga hari ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline