Lihat ke Halaman Asli

Desi Adhariani

Menulis untuk kebaikan

Ironi Kelangkaan Air di Tengah Gemerlap Pariwisata Bali

Diperbarui: 27 Juli 2018   20:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat berkesempatan liburan ke Bali, pernahkah anda perhatikan tentang anjuran hemat air di hotel-hotel? Ya, biasanya anjuran yang diberikan dalam bentuk stiker atau kartu itu berisi cara-cara menghemat air, seperti mematikan keran saat gosok gigi dan menggunakan ulang handuk jika masih bisa digunakan.

Ya, krisis air di Bali telah dikemukakan dalam sejumlah studi, antara lain yang dilakukan oleh Institute for Development Economic and Planning (IDEP) Bali tahun 2012, yang menunjukkan bahwa cadangan air bawah tanah di Bali tinggal 20 persen saja dan terjadi penurunan kualitas air bersih. 

Jika tidak ada mitigasi atas masalah ini, diperkirakan Bali akan mengalami bencana ekologis pada tahun 2020 mendatang yang disebabkan antara lain oleh intrusi air laut yang terjadi di sentra-sentra pariwisata serta pengambilan air bawah tanah secara masif. Riset lain yang dilakukan lima tahun lalu oleh peneliti dari University of the West of England, Stroma Cole mengungkapkan adanya persaingan penggunaan air antara masyarakat lokal dan turis. Penggunaan air oleh turis di dunia rata-rata 10 kali lipat dari standar umum. 

Namun, turis di Bali menghabiskan sampai 100 kali lipat. Data ini sejalan dengan data dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali, yang menyebutkan bahwa penggunaan air oleh turis di Bali berkisar 1.300 liter per orang per hari, tergantung pada jenis hotel atau lokasi.

Data ini menunjukkan bahwa kepentingan turis akan akan air sangat diperhatikan, tetapi mengorbankan masyarakat lokal. Data tersebut kurang lebih sama dengan data dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) di Bali yang menyebutkan bahwa penggunaan air oleh turis di Bali berkisar 1.300 liter per orang per hari, yang tergantung pada jenis hotel atau lokasi. 

Turis di Kuta menghabiskan air rata-rata 800 liter per hari, Seminyak sekitar 1.400 liter, Jimbaran 2.340 liter, dan Ubud 3.270 liter. Pemakaian tertinggi di Ubud mencerminkan pesona daerah ini dengan sarana pariwisata yang eksklusif, dengan fasilitas air untuk mandi, spa, dan kolam renang yang bisa dinikmati oleh turis.

Pariwisata merupakan penopang terbesar (80%) perekonomian di Bali dan dianggap telah berjasa mengangkat kesejahteraan masyarakat. Namun kegiatan pariwisata yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan dan sumber daya alam justru akan memunculkan masalah baru. 

Melimpahnya air untuk pariwisata di Bali merupakan hal yang ironis jika dibandingkan dengan tak terjangkaunya air oleh warganya sendiri. Hal ini tidak hanya terjadi di daerah-daerah kering semacam Karangasem, tetapi juga di pusat pariwisata di Bali selatan. Padahal, menurut Cole, akses terhadap air merupakan bagian dari hak asasi manusia sehingga air harus mudah didapat, aman, dan cukup bagi setiap orang. Kelangkaan air bersih juga bisa menyebabkan berbagai masalah kesehatan, termasuk kasus diare dan penyakit kulit.

Untuk mengantisipasi agar krisis air tidak semakin parah, para pemangku kepentingan pariwisata di Bali perlu mempertimbangkan daya dukung Bali dalam mengelola Beberapa langkah yang disarankan adalah (Ali, 2016): Pertama, moratorium pembangunan industri pariwisata di Bali agar pemerintah bisa mengambil jarak dari masalah air demi solusi jangka panjang dan komprehensif. Kedua, Peraturan Daerah (Perda) Nomor 16 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali harus diterapkan secara konsisten untuk menjaga ekologi dan alam Bali seutuhnya. Ketiga, master plan pembangunan daerah Bali secara komprehensif mulai dari hulu hingga hilir perlu dibuat untuk mereduksi pembangunan yang cenderung eksploitatif tehadap aspek ekologi.

Berbagai saran tersebut berpusat pada peran pemerintah dalam mengatasi krisis air, padahal pada saat yang sama partisipasi publik harus diberi ruang dan kesempatan dalam pengelolaan lingkungan agar tercapai pariwisata yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Partisipasi ini diperlukan sebagai kontribusi pengelolaan sumber daya air secara bijak dan terpadu untuk mencapai ketahanan pangan, sumber daya air, energi, dan lingkungan hidup seutuhnya.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, Universitas Indonesia melaksanakan program pengabdian masyarakat yang dinamakan "Water Counting" karena menekankan pada upaya dan gerakan hemat air yang dapat dilakukan oleh masyarakat, terutama di unit keluarga. Program tersebut terdiri dari serangkaian kegiatan edukasi ke masyarakat dalam bentuk pembinaan langsung ke  kelompok masyarakat di Desa Tianyar, Karang Asem, Bali serta penyuluhan umum dan pembangunan fasilitas air bersih bekerja sama dengan sociopreneur Penggiat Sedekah Air.Program ini berfokus pada pemberdayaan masyarakat, terutama keluarga sebagai unit terkecil dalam mengatasi masalah kelangkaan air di Bali. Berbagai kegiatan dijalankan merupakan implementasi dari ilmu pengetahuan dan teknologi bagi masyarakat, yang diharapkan bisa berjalan beriringan dengan upaya formal dari pemerintah daerah dalam menangani krisis air. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline