Masyarakat kita selalu heboh ketika ada public figure yang awalnya mengenakan jilbab, lalu kemudian dengan alasan tertentu melepasnya. Mereka beramai-ramai menghakiminya, mengurusi dosa serta menentukan surga dan nerakanya. Sementara itu, ketika ada public figure yang dalam suatu keadaan tertentu mengenakan jilbab, mereka beramai-ramai memuji kecantikannya dan berdoa semoga mendapat hidayah dengan konsisten memakai jilbab. Di Indonesia, orang sekelas Professor Quraish Shihab, yang sangat mumpuni di bidang tafsir, masih bisa terkena nyinyir netizen yang ngajinya cukup hanya dengan menonton video pendek tiktok, youtube, reels instagram, dan yang lainnya. Hanya karena pandangannya tentang jilbab berbeda dari pemahaman masyarakat selama ini. Padahal kalau mau dikatakan jujur, pandangan masyarakat kita tentang jilbab memang masih salah kaprah. Dan yang menjadi akar masalahnya adalah miskinnya wacana tentang jilbab. Padahal hijab, jilbab, dan khimar punya definisinya masing-masing yang berbeda dan memiliki sebab konteks yang berbeda pula.
Pertama, Pengertian Hijab Hanya Sebatas Tirai Penghalang
Masyarakat kita memahami bahwa yang dinamakan sebagai hijab adalah penutup kepala atau kerudung. Sehingga orang-orang akan mengatakan, "kenakan hijabmu". Padahal definisi hijab bukanlah kerudung atau penutup kepala, melainkan penghalang, tabir, atau pembatas. Pengertiannya hanya sebatas itu saja. Adapun konteks pada masa nabi yang menjadi sebab turunnya ayat hijab ini adalah, kala itu nabi sedang mengadakan resepsi atas pernikahannya dengan Zainab binti Jahsy mantan istri anak angkat nabi yaitu Zaid bin Usamah. Profil nabi yang demikian ramah membuat para sahabat betah untuk berlama-lama cangkrukan di rumah nabi. Padahal, sebagai pengantin baru kala itu, nabi tentu juga membutuhkan privasi. Apalagi jika membayangkan rumah nabi yang hanya sepetak kubus, tentu tidak ada privasi sama sekali. Oleh karenanya Tuhan memerintahkan kepada istri-istri nabi agar mengenakan tirai penghalang saat hendak berbicara dengan para sahabat nabi yang juga kaum mukmin ini. Hal ini tentu karena istri-istri nabi adalah perempuan-perempuan mukminah yang mulia, sehingga wajar apabila Tuhan mengkhususkan mereka untuk mengenakan hijab atau penghalang ketika berbicara dengan orang-orang mukmin. Perintah untuk mengenakan hijab sendiri terdapat dalam Surah Al-Ahzab ayat 53. Meskipun demikian, ayat ini tidak hanya menerangkan anjuran agar mengenakan hijab saja, tetapi juga menerangkan tentang etika yang harus diperhatikan saat menghadiri perjamuan yang diselenggarakan oleh nabi dan larangan untuk mengawini mantan istri-istri nabi setelah wafatnya nabi.
Kedua, Pemakaian Khimar Digunakan untuk Mengkoreksi Kebiasaan Buruk Perempuan dalam Mengenakan Kerudung
Bila menengok sejarah turunnya ayat tentang khimar, maka konteks yang ada pada masa itu adalah sudah adanya tradisi mengenakan kerudung yang dilakukan oleh kaum perempuan pada masa nabi. Akan tetapi, alih-alih menjumbaikan kerudung atau khimar ini ke bagian depan agar menutupi bagian dada dan leher, mereka malah justru menjumbaikannya ke bagian belakang punggung mereka. Sehingga leher dan dada mereka tetap saja tampak meskipun mengenakan kerudung. Mungkin bisa dikatakan percuma mengenakan kerudung kalau bagian dadanya masih saja tampak. Sehingga, ayat khimar ini adalah sebuah koreksi atas tradisi yang berkembang pada masa itu. Yaitu suatu tradisi menjumbaikan kerudung ke bagian punggung mereka yang dilakukan oleh kaum mukminah pada masa nabi. Karena khimar ini dijumbaikan ke bagian belakang, maka bagian dada mereka yang mungkin saja bisa menjadi sumber fitnah tetap tampak.
Ketiga, Pemakaian Jilbab dalam Teks Islam Digunakan untuk Membedakan Status Sosial Perempuan Budak dan Perempuan Merdeka
Sebelum berangkat ke arah sana, alangkah baiknya jika kita memahami arti jilbab itu sendiri. Definisi jilbab ini memiliki ragam pendapat. Ada yang menyebutkan bahwa jilbab adalah rida atau sorban. Ada pula yang menyebutkan bahwa jilbab adalah pakaian yang lebih besar ketimbang khimar atau kerudung. Dan yang lainnya menyebut bahwa jilbab adalah qina', yaitu penutup muka, atau juga kerudung. Namun yang benar adalah jilbab merupakan gaun besar yang menutupi seluruh tubuh atau bisa juga disebut mantel.
Konteks pemakaian jilbab ini tidak luput dengan tradisi perempuan pada masa itu yang suka bertabazzul alias bersenang-senang. Sebagaimana hamba sahaya pada masa itu, mereka membiarkan muka mereka terbuka, dan bahkan terkadang mereka terpaksa membuang hajat di padang pasir. Keadaan semacam ini kemudian membuat laki-laki yang nakal pada masa itu sering berbuat buruk kepada mereka karena mengira mereka adalah hamba sahaya atau budak. Dimana budak pada masa itu merupakan golongan yang kurang terhormat. Sepatah kata yang lebih sopan untuk menggantikan kata tidak. Karena merasa terganggu, akhirnya perempuan-perempuan ini melaporkan peristiwa tersebut kepada nabi. Dan kemudian turunlah ayat tentang jilbab, yaitu untuk membedakan antara perempuan merdeka dengan hamba sahaya. Pembedaan ini sendiri dilakukan dengan cara memanjangkan pakaian mereka, sehingga mereka akan lebih mudah dikenali dan tidak mendapatkan perlakuan buruk dari laki-laki nakal pada masa itu.
Membedakan Antara Agama dan Pemikiran Keagamaan
Masyarakat kita cenderung tidak mampu membedakan antara agama dan pemikiran keagamaan. Selain karena minimnya literasi, juga karena merasa cukup ketika hanya belajar agama dari video-video singkat media sosial saja. Pengetahuan berhenti sampai disitu, tidak ada upaya untuk lebih jauh lagi menggali kredibilitas dan validitas atas pengetahuan yang diterimanya itu. Sehingga pemahaman mengenai perbedaan agama dan pemikiran keagamaan tidak ada. Karena terkadang, apa yang kita yakini sebagai agama ternyata justru hanya pemikiran keagamaan saja. Dalam konteks ini jilbab ini, secara sederhana agama dapat dijelaskan sebagai wahyu atau firman Tuhan. Ayat Al-Qur'an yang berikaitan dengan jilbab tersebut disebut sebagai agama. Al-Qur'an ini sifatnya mutlak, tidak bisa disanggah atau dikritik karena sumbernya dari Tuhan. Sementara itu, tafsir atas ayat jilbab yang melahirkan silang pendapat antara kewajiban mengenakan jilbab dan tidak, disebut sebagai pemikiran keagamaan. Bayangkan, dalam satu ayat saja bisa melahirkan penafsiran yang berbeda, tergantung bagaimana para mufassir menafsirkannya. Tafsir atas suatu ayat, tafsir atas ayat jilbab misalnya, adalah dinamakan dengan pemikiran keagamaan. Pemikiran keagamaan (tafsir) ini merupakan produk manusia. Oleh karena itu, ia bukanlah sesuatu yang haram disanggah atau pun dikritisi untuk melahirkan penafsiran-penafsiran baru. Adalah wajar jika terrdapat penafsiran yang berbeda dan melahirkan pandangan yang berbeda pula. Pemikiran keagamaan ini bukan sesuatu yang absolut atau wajib dituhankan sehingga haram hukumnya jika mendapat kritik atau sanggahan.
Asalkan memiliki kapabilitas yang cukup untuk menjadi seorang mufassir, kita juga mungkin bisa menafsirkan ayat tentang jilbab ini dengan pandangan yang mungkin berbeda sama sekali.