Lihat ke Halaman Asli

Kemiskinan yang Menjalari Kota Jakarta

Diperbarui: 8 Mei 2024   14:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Senja di Jakarta, sebuah novel karya Mochtar Lubis, tidak hanya menyoroti masalah korupsi dan kriminalitas yang terjadi di Jakarta pada era 90-an saja, tepatnya satu dekade setelah Indonesia merdeka. Tetapi juga mennyoroti kemiskinan yang ada di kota Jakarta. Seperti novel-novel Mochtar Lubis yang lainnya, novel ini juga membahas sekilas tentang semangat revolusi kemerdekaan dan juga kasus-kasus korupsi yang terjadi, bahkan sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Agaknya korupsi memang menjadi warisan kolonial yang masih terpelihara dengan baik hingga saat ini.

Potret kehidupan di Jakarta tidak lepas dari kesenjangan antara kehidupan orang-orang miskin dan orang-orang kaya. Sebab, selain menjadi kota untuk mengadu nasib bagi orang-orang yang ingin meningkatkan kualitas hidup mereka lewat perekonomian keluarga, Jakarta juga menjadi tempat berjalannya pusat pemerintahan negara. Gedung-gedung pencakar langit sebagai simbol kemajuan yang diagung-agungkan mestilah menjadi sesuatu yang niscaya adanya di Jakarta. Namun demikian, kemiskinan juga menjalar di sekitarnya.

Mereka yang datang dari kampung-kampung dengan maksud merubah nasib kehidupan, tidak selalu mendapatkan keberuntungan di dalam hidup. Mereka bisa saja hanya bekerja sebagai kuli yang upahnya tidak seberapa dan tidak mesti selalu cukup untuk makan sehari-hari. Kemiskinan di Jakarta dikisahkan melalui tokoh Saimun. Ia berasal dari sebuah dusun di kampung terpencil. Hidup mereka yang baik-baik saja saat masih tinggal di kampungnya, suatu ketika berubah menjadi neraka ketika segerombolan perampok menyerang kampungnya dan menjarah semua yang ada di dalamnya. Akhirnya, untuk menyelamatkan diri, Saimun, tanpa berbekal suatu pengalaman apapun, berangkat ke Jakarta untuk mencari sesuap nasi agar mampu bertahan hidup.

Minggu-minggu pertama tiba di Jakarta, Saimun menangis ketika hari sudah malam karena tidak tahu harus pergi kemana, dan ia pun akhirnya tidur di depan toko. Hingga akhirnya ia bertemu dengan seseorang yang akhirnya menjadi temannya dan kemudian bekerja sebagai kuli angkut sampah dengan bayaran empat puluh sembilan setengah rupiah saja. Gaji  yang dibayarkan tiap dua kali dalam sebulan itu selalu habis untuk membeli makan, bayar sewa pondok, dan juga membayar utang. Uang itu pun terkadang habis beberapa hari sebelum pembayaran gaji selanjutnya. Akhirnya untuk bisa makan, mereka harus menghutang terlebih dahulu kepada pemilik warung, dan membayarnya kemudian ketika gaji sudah dibayarkan.

Kemiskinan juga dikisahkan melalui tokoh Pak Ijo, seorang kusir delman tua yang sakit-sakitan. Meskipun sakit, ia tetap harus bekerja lantaran harus memberi makan istri dan anaknya. Yang menjadi miris adalah penyakit yang dimilikinya bukanlah penyakit biasa. Ia memiliki tiga bisul sebesar tinju di tubuhnya. Dua bisul terletak di punggung Pak Ijo, dan satunya lagi terletak di pahanya. Tak dijelaskan bisul jenis apa yang ada di tubuh Pak Ijo tersebut. Namun jika melihat besarnya bisul tersebut mungkin sudah bisa dipastikan bahwa itu adalah tumor. Suatu penyakit ganas yang diidentikkan dengan benjolan yang besar. Memiliki impian untuk bisa berobat tentu merupakan sesuatu yang mustahil bagi Pak Ijo. Jangankan untuk berobat, untuk makan sehari-hari saja mereka selalu kekurangan.

Selain itu, kemiskinan juga dikisahkan melalui seorang pegawai negeri yang jujur. Idris, seorang pegawai negeri yang tetap berpegang teguh untuk tetap jujur dalam pekerjaannya, tidaklah memiliki gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Ia bahkan tidak memiliki rumah yang layak. Sebagai inspektur Kementrian PP dan K, gajinya hanya cukup untuk beberapa minggu saja. Oleh karena itu, berkeinginan menjadi pegawai negeri merupakan suatu hal yang bodoh. Namun menjadi pegawai negeri juga bisa menjadi kaya apabila ia mau korupsi seperti temannya yang sama-sama menjadi pegawai negeri. Ia sama miskinnya seperti Idris, namun kehidupannya berubah menjadi bergelimang harta ketika ia korupsi. Di dunia ini siapa yang lurus bisa saja binasa, ia akan rugi sendiri jika tidak mau ikut. Sementara itu yang lainnya akan jalan terus. Namun jika semua pegawai negeri korupsi, maka akan dibawa kemana negara kita?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline