Ketika kita memiliki perabot elektronik seperti mesin cuci, rice cooker, setrika atau vaccum cleaner di rumah, mungkin kita akan merasa bangga. Dengan bantuan perabot rumah tangga modern tersebut, pekerjaan rumah akan terselesaikan dengan mudah dan beban terkurangi.
Anehnya, meskipun saya menggunakan semua perabot rumah tangga itu, saya tidak merasa bangga sama sekali. Karena jika saya merasa bangga, berarti saya mengamini bahwa pekerjaan domestik adalah memang kodrat perempuan. Menyapu, mencuci pakaian, menyetrika, dan pekerjaan rumah yang lainnya, adalah skill dasar yang bisa dikerjakan oleh siapapun, tidak memerlukan jenis kelamin.
Perabot elektronik yang merupakan produk dari modernisme, justru malah melanggengkan domestikasi terhadap perempuan. Lewat perabot suci rumah tangga yang berkembang semakin canggih, memberikan anggapan bahwa pekerjaan domestik bagi perempuan bukanlah suatu kelemahan.
Padahal, Pekerjaan seharusnya dibagi bukan berdasarkan gender atau jenis kelamin seseorang, tetapi berdasarkan kemampuan, kesiapan, dan kebersediaan seseorang untuk melakukan pekerjaan tertentu. Meskipun demikian, kultur atau budaya masyarakat dalam pengasuhan memang menjadi tonggak penting berdirinya pembagian kerja berdasarkan gender.
Kaum urban, sebagai masyarakat yang paling sering mengakses media dan menerima berita seputar gaya hidup tentu akan tersentuh lebih dahulu oleh perabot elektronik rumah tangga. Terlebih status finansial dan kedudukan seseorang juga turut andil dalam kemudahan akses terhadap perabot elektronik tersebut. Mereka yang memiliki finansial yang berlebih serta kedudukan sosial yang cukup tinggi, meskipun memiliki kesibukan karier di luar rumah, urusan rumah akan tetap beres berkat adanya bantuan dari perabotan elektronik.
Perabot elektronik rumah tangga memang terlihat membebaskan perempuan dari kejenuhan pekerjaan rumah dan mampu membuatnya merengkuh kehidupan di luar rumah. Tetapi ia tidak akan menghilangkan anggapan bahwa pekerjaan rumah adalah kodrat perempuan. Dengan bantuan perabot elektronik tersebut, perempuan, meskipun ia bekerja sebagai pegawai kantoran, tidak akan meninggalkan rumah dan keluarganya.
Selain itu, iklan-iklan perabot rumah tangga juga cenderung menggunakan bahasa-bahasa yang feminim. Ruang rumah terutama dapur dibangun dalam citra feminitas. Sebagai ibu rumah tangga modern, waktu sangatlah berharga, oleh karena itu perabotan elektronik ini bisa menjadi solusi perempuan untuk tetap dapat beraktivitas di luar rumah tanpa khawatir meninggalkan rumah.
Dengan perabotan elektronik secanggih apapun, perempuan tetap menjadi pelaksana semua pekerjaan domestik, dengan ataupun tanpa pembantu. Ia menemukan pembuktian sosialnya di sana. Beberapa tugas cenderung seperti siksaan daripada pekerjaan rumah, dengan pengulangan-pengulanga yang tidak memiliki akhir.
Barang yang bersih menjadi kotor, yang kotor dibersihkan lagi, begitu terus-menrus, hari demi hari. Mencuci, menyetrika, menyapu, membersihkan segumpal debu dari bawah lemari. Pekerjaan rumah itu melelahkan, hampa, monoton, sama seperti karier. Di bawah kondisi yang berantakan dan tidak akan ada kepuasan, ruangan kotor akan tetap kotor kendati ia mengucurkan keringat dan airmata. Ia merupakan penyangkalan akan kehidupan karena waktu menciptakan dan menghancurkan dirinya untuk sementara.
Bagi kaum elit, masalah pekerjaan rumah tangga mungkin memang tidak terlalu penting karena mereka mempunyai segala sumberdaya yang memadai untuk mendapatkan alternatif lainnya meski dengan harga yang mahal sekalipun.Tetapi bagi kaum dengan ekonomi rendah pekerjaan domestik tentu masih menjadi sebuah kultur yang akan memperlihatkan sebuah kelemahan perempuan dan suatu penindasan terhadapnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H