Lihat ke Halaman Asli

Desi Moulida

Belajar menulis

Mata Air dan Air Mata di Tanah Tripa

Diperbarui: 17 Februari 2022   00:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Haba tanyoe_Terenyuh, kecewa, sedih, frustasi, marah dan berbagai jenis perasaan lainnya sedang berkecamuk dalam hati kita, seperti itulah gambaran perasaan bangsa kita saat ini, yang kembali menguat Setelah menyaksikan rangkaian tindakan yang mungkin tidak sepatutnya diterima oleh rakyat dari aparatus negara.

Apa yang tertimpa warga desa Tripa adalah derita dan luka kita bersama, dan diduga masih banyak lagi desa beserta warganya yang tertimpa peristiwa yang serupa. Bangsa kita seperti kehilangan peka, kehilangan perasaan, kehilangan etika, dimulai dari para pemimpinya elite politiknya, elit sosialnya, atau bahkan rakyat kita sendiri.

Kenapa kita katakan rakyat, sebab pada dasarnya rakyat adalah seluruh elemen bangsa yang bernaung dibawah pancasila dan NKRI, Bhinneka Tunggal Ika dan Konstitusi yang belum ada embel apapun yang melekat padanya. 

Polisi juga bagian dari rakyat jika tidak sedang bertugas, pegawai negeri juga demikian dan semua aparatus lainnya yang jumlahnya sekitar jutaan tersebut juga menyandang status rakyat biasa sebagai warga negara yang kita yakin masih ada rasa solidaritas, empati dan simpati.

Namun, kita seperti bingung dibuat oleh keadaan, kenapa bisa sampai ada kejadian tindas menindas, pukul memukul antar rakyat dan aparatus negara, setiap hari kita menonton di telivisi, mengetahui melalui media sosial dan media massa, selalu saja ada tindakan represif dari alat negara dengan dalih pembangunan.

Padahal untuk siapakah pembangunan tersebut?

Bukankah pembangunan adalah untuk rakyat sebagai warga negara atas perintah konstitusi?

Jika rakyat adalah tujuan akhir pembangunan maka kembalikanlah pilihan itu pada rakyat. Menampung aspirasi rakyat, keinginan dan harapan mereka. Sehingga dengan demikian, apa yang disebut pembangunan berbasis aspirasi dan harmonisasi dan partisipasi bisa terwujud. Bukan malah sebaliknya. 

Justru yang terjadi saat ini, yang terbangun di persepsi publik adalah pembangunan yang berbasis pemaksaan sepihak. Sepeti tidak ada ruang partisipasi bagi rakyat atas pembangunan yang mereka impikan.

Maka oleh karena itu, harapan kita semua sebagai bangsa agar tindakan represif dari aparat negara itu tidak lagi diperlukan, mari kita berikan ruang partisipasi bagi aspirasi rakyat sebesar besarnya dalam pembangunan yang mereka harapkan, karena pada akhirnya pembangunan hanya dinikmati oleh rakyat dan itu adalah perintah konstitusi.

Semoga seluruh elemen bangsa kita kembali pada trek yang benar sesuai arahan konstitusi kita.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline