Lihat ke Halaman Asli

Dampak Transportasi Darat terhadap Jejak Ekologi

Diperbarui: 21 Desember 2019   20:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah konsep untuk melakukan perhitungan terhadap aliran energi dan siklus materi dari atau ke ekonomi dan dikonversikan ke lahan atau perairan yang mendukung aliran ini telah dibangun (Wackernagel, 1996). Konsep ini tidak hanya menilai keberlanjutan aktivitas manusia saat ini, tapi juga efektif membangun kesadaran masyarakat serta membantu para pengambil kebijakan. Konsep yang disebut Ecological Footprint (EF) didasarkan pada pencarian indikator berkelanjutan, khususnya mengukur pemanfaatan sumberdaya alam oleh manusia dikaitkan dengan daya dukung. Hasilnya dapat memberi gambaran mengenai dampak aktivitas manusia terhadap lingkungan dalam satuan tertentu (lahan bioproduktif) dan dapat dihubungkan dengan daya dukung bumi (biokapasitas). Biokapasitas merupakan langkah awal untuk menentukan dampak aktivitas manusia terhadap lingkungan, sehingga faktor yang diukur adalah berapa besar sumberdaya dalam satuan lahan bioproduktif yang digunakan untuk menghasilkan atau memproduksi barang atau jasa yang dikonsumsi oleh sejumlah populasi tertentu dan untuk menyerap limbah yang dihasilkan menggunakan teknologi yang umum (Septiarani, 2010). Satuan yang biasa digunakan adalah hektar dan dapat dihitung menurut individu, komunitas, perdesaan, perkotaan, provinsi, negara bahkan populasi global secara keseluruhan. Ecological Footprint juga dapat menghitung konsumsi suatu organisasi, aktivitas manusia tertentu atau barang dan jasa tertentu (Wackernagel, 1996).

Carbon Footprint merupakan suatu ukuran jumlah total dari hasil emisi karbon dioksida yang secara langsung maupun tidak langsung disebabkan oleh aktivitas atau akumulasi yang berlebih dari penggunaan produk dalam kehidupan sehari-hari, misalnya pembakaran bahan bakar fosil dari penggunaan kendaraan bermotor (Dhewantara, 2010). Terdapat 2 macam Carbon Footprint yakni secara Footprint Primer dan Footprint Sekunder. Maksud dari jejak karbon Primer adalah ukuran emisi CO2 yang bersifat langsung, dimana emisi ini didapat dari hasil pembakaran bahan bakar fosil seperti kendaraan dan transportasi lainnya, sedangkan jejak karbon sekunder adalah ukuran emisi CO2 yang bersifat tidak langsung, didapat dari daur ulang produk yang kita gunakan seperti dalam penggunaan listrik dan sebagainya (Puri, 2009). Penghitungan jejak karbon digunakan untuk mengukur paparan karbon akibat gaya hidup dan konsumsi langsung individual atau kelompok terhadap barang dan jasa. Salah satu penghitungan jejak yang paling sederhana adalah konsumsi energi selama perjalanan dengan mobil (Farha, 2015).

Saat ini di seluruh dunia terdapat lebih dari 500 juta kendaraan bermotor. Jika setiap kendaraan membakar rata-rata hampir 2 galon bahan bakar per hari maka hal itu sama dengan mengkonsumsi sepertiga produksi minyak dunia. Apalagi dengan terus bertambahnya populasi manusia secara signifikan turut meningkatkan permintaan dan penggunaan kendaraan bermotor (Dhewantara, 2010). Konsumsi barang public seperti bahan bakar fosil, sering menimbulkan dampak eksternal atau disebut sebagai eksternalitas. Secara umum eksternalitas diartikan sebagai dampak baik positif maupun negatif dari tindakan satu pihak terhadap pihak lain (net cost atau benefit). Pada kenyataannya kedua dampak tersebut dapat muncul bersamaan dan terjadi secara simultan. Eksternalitas terjadi jika kegiatan produksi atau konsumsi dari satu pihak mempengaruhi kegunaan (utilitas) pihak lain (tidak diinginkan oleh pihak lain tersebut) dan pihak pembuat eksternalitas tidak menyediakan kompensasi terhadap pihak yang terkena dampak (Septiarani, 2010). Secara singkat diartikan sebagai dampak yang dirasakan pihak ketiga yang disebabkan oleh suatu kegiatan transaksi atau kegiatan tertentu. Dampak tersebut terjadi dari empat interaksi pelaku ekonomi, yaitu antara produsen dan produsen, produsen dan konsumen, konsumen dan konsumen, serta konsumen dan produsen (Septiarani, 2010).

Menurut (Bowersox, 1981), transportasi adalah perpindahan barang atau penumpang dari suatu tempat ketempat lain, dimana produk dipindahkan ke tempat tujuan dibutuhkan. Secara umum transportasi adalah suatu kegiatan memindahkan sesuatu (barang dan/atau barang) dari suatu tempat ke tempat lain, baik dengan atau tanpa sarana. Moda transportasi darat terdiri dari seluruh bentuk alat transportasi yang beroperasi di darat. Moda transportasi darat sering dianggap identik dengan moda transportasi jalan raya (Warpani, 1990). Dalam Sistem Transportasi Nasional (SISTRANAS) disebutkan bahwa integrasi transportasi umum merupakan sasaran utama pengembangan sistem transportasi nasional yang ditujukan untuk memberikan jaminan keselamatan dan keamanan transportasi, keteraturan, kelancaran, kecepatan, kemudahan pencapaian, ketepatan waktu, kenyamanan, ketertiban, keterjangkauan tarif, dan tingkat polusi yang rendah dalam satu kesatuan jaringan transportasi publik tanpa terlalu membebani masyarakat namun tetap memberikan pelayanan yang maksimal dan optimal. Optimal dalam hal ini mengandung pengertian bahwa kapasitas pelayanan moda yang tersedia seimbang dengan permintaan kebutuhan perjalanan masyarakat sehingga mampu memberikan pelayanan yang maksimal pada masa sibuk namun tidak terlalu banyak moda yang menganggur pada masa sepi (Warpani, 2002).

            Permasalahan transportasi darat di Indonesia merupakan permasalahan yang sangat diperhatikan, karena hal tersebut adalah suatu permasalahan yang saling berkaitan satu sama lain. Pada pengukuran yang dilakukan (Wackernagel, 2006), suplai lahan bioproduktif dan laut pada planet ini sebesar 1.8 hektar per orang. Jumlah tersebut akan berkurang jika terdapat spesies lain yang juga bergantung pada lahan itu. Namun jumlah tersebut jauh lebih kecil dibandingkan penduduk Kanada yang memerlukan rata-rata 7.5 hektar untuk memenuhi konsumsi perorang. Jika hal tersebut dibiarkan, itu artinya diperlukan 4 planet tambahan untuk memenuhi kebutuhan penduduk tersebut. Orang Italia menghasilkan jejak 4 gha, Meksiko 2,4 gha sedangkan orang India 0,7 gha. Jika dibandingkan dengan persediaan dan permintaan, pada tahun 2002 sesungguhnya Ecological Footprint penduduk dunia telah melebihi kapasitas bumi lebih dari 20%., dengan perhitungan 2.2 gha/orang/1.8gha/org=1.2, artinya diperlukan 1 tahun 2 bulan untuk meregenerasi sumber daya yang dikonsumsi manusia pada tahun tersebut. Fenomena itu disebut 'ecological overshoot'. Overshoot menyebabkan likuidasi dari sumberdaya alam seperti akumulasi karbon di atmosfer, kolapsnya perikanan, melebarnya areal deforestasi, kehilangan biodiversitas dan kekurangan air bersih. Oleh karena itu harus dilakukan efisiensi, yakni jejak ekologi manusia harus berkembang lebih lambat dibandingkan aktivitas ekonomi, meskipun pada kenyataannya permintaan manusia atas sumberdaya alam terus meningkat hingga pada tingkat dimana ekonomi manusia berada dalam 'overshoot' ekologi global (Wackernagel, 2006).

Jejak ekologi penting diketahui dalam rangka mengantisipasi sistem transportasi (Soemarwoto, 2006), telah memberikan telaahan yang dapat digunakan untuk mendorong masyarakat maupun pemerintah untuk merenungkan dan mengkaji ulang sistem transpor Indonesia serta dampaknya terhadap pembangunan berkelanjutan. Pertama, sistem transport yang berorientasi pada transport darat, mengingkari sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, sehingga timbul persepsi bahwa laut adalah pemisah antara pulaupulau dan penduduk yang menghuninya. Dalam hal ini kebijakan transport orientasi darat tidak bersifat pro- Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dibutuhkan sebuah sistem transport antarmodalitas (intermodality) dalam sebuah jaring-jaring transport yang menjamin antar-konektivitas dan antar operasionalitas (interconnectivity and interoperability) yang berimbang dengan memberi tempat yang wajar pada transport antar pulau dengan kapal. Hal tersebut diharapkan menjadi sebuah sistem yang pro Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dapat memperkuat kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, pulau-pulau luar sebagai penentu batas kedaulatan dan zona ekonomi eksklusif Negara Kesatuan Republik Indonesia akan mendapat perhatian besar. Perkembangan ini juga dapat memacu pertumbuhan wisata bahari. Dengan demikian, sistem tersebut akan menyebarkan pembangunan dengan lebih merata ke seluruh nusantara, sehingga bersifat lebih adil.

Adanya transportasi dapat memudahkan masyarakat untuk segala urusannya, keseimbangan sistem transportasi antarmodalitas memiliki sifat yang pro terhadap lingkungan hidup karena lebih hemat energi dengan emisi gas buang yang lebih rendah pada berjalan kaki, bersepeda, kereta api dan kapal sebagai komponennya. Sifat transportasi yang pro lingkungan hidup juga berimbas pada jumlah ketersediaan lahan, khususnya pada lahan yang subur dan rindang. Hal tersebut dapat ditangani dengan adanya pembangunan yang merata, sehingga lebih memperhatikan tata ruang dalam suatu kota. Sistem transportasi juga bersifat pro terhadap rakyat miskin, pada saat mengalami kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM), transport yang hemat energi menunjang pembangunan ekonomi sehingga subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) berkurang dan desakan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) kemudian energi ikutannya juga berkurang. Keresahan masyarakat, baik masyarakat umum, maupun masyarakat bisnis pun akan berkurang, karena pembangunan yang merata, penciptaan lapangan pekerjaan pun dapat tercipta merata di seluruh nusantara. Lapangan pekerjaan itu mulai dari pekerja bangunan untuk pabrik dan perumahan, pembuat kapal di galangan kapal kecil dan besar serta awak kapal sampai pada insinyur dan tenaga kerja terdidik lainnya (Soemarwoto, 2006).

Meskipun demikian, terdapat pula kendala utama penerapan konsep ini yakni munculnya persepsi bahwa pemilik modal akan rugi dan PAD (Pendapatan Asli Daerah) merosot. Lobi industri otomotif akan semakin kuat, akan tetapi berdasarkan pengalaman yang terjadi selama ini sistem transportasi yang sangat mengandalkan pada kendaraan bermotor tidak mungkin dapat berkelanjutan, karena makin parahnya kemacetan lalu lintas pencemaran udara dan kebisingan makin menyusutnya taman dan jalur hijau serta hilangnya lahan subur dengan prasarana irigasinya. Penerapan konsep ini dapat dilakukan secara bertahap misalnya dalam sebuah kota dengan menggunakan cara yang sesuai dengan karakterisitik kota tersebut seperti busway di Jakarta. Demikian juga dengan rencana monorail, MRT dan subway yang sedang direncakanan oleh Jakarta (Soemarwoto, 2006). Hal lain yang perlu diupayakan adalah mengembangkan sumber energi baru yang ramah lingkungan seperti mengganti penggunaan bahan bakar fosil dengan produk Bahan Bakar Nabati (BBN), serta mengembangkan teknologi angin dan sinar matahari sebagai sumber energi (Wackernagel, 2011).

Analisis jejak ekologi sangat bermanfaat sebagai tolak ukur seberapa besar total konsumsi yang dibutuhkan serta seberapa besar total hasil gas buangan (emisi) yang telah digunakan. Jejak ekologi juga dapat digunakan untuk memberikan pemahaman mengenai kondisi tentang kapasitas yang dihasilkan oleh bumi, mulai dari berapa kapasitas bumi yang telah terpakai hingga berapa kapasitas bumi yang ditersisa. Melalui jejak ekologi, dapat digunakan sebagai pembelajaran dan mulai mengubah gaya hidup supaya kapasitas biological yang disediakan oleh bumi masih terjaga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline