Perguruan tinggi adalah salah satu tempat di mana daya saing kompetitif sangat terasa, karena banyak mahasiswa berlomba-lomba untuk mencapai tujuan akademik mereka. Fokusnya sering ditemui tidak lain adalah untuk menjadi yang terbaik terlihat dalam aktivitasnya, baik di bidang akademik maupun non-akademik. Mahasiswa berusaha mengumpulkan nilai tertinggi, bergabung dengan berbagai organisasi, dan terlibat dalam kegiatan luar kampus untuk membangun portofolio yang kuat.
Semangat kompetisi yang kuat sering mendorong siswa untuk berusaha lebih keras dan mencapai lebih banyak. Tak ayal dalam mencapai prestasi, tentu banyak pengorbanan dan tantangan yang harus dikeluarkan mulai dari tenaga, uang, waktu, dan hal-hal lainnya. Mahasiswa menghadapi berbagai tantangan yang menghabiskan waktu dan kekuatan mental mereka seiring dengan dunia pendidikan yang semakin kompetitif. Dengan tenggat waktu yang ketat dan tuntutan akademik yang tinggi, mahasiswa rentan mengalami kelelahan kronis, atau yang lebih dikenal sebagai burnout. Hal ini ternyata jika dikaji memiliki dampak yang jauh lebih dalam terhadap kesehatan mental mereka daripada hanya rasa lelah.
Burnout akademik adalah kondisi seseorang yang merasakan kelelahan secara fisik, mental, maupun emosional yang diikuti oleh perasaan untuk menghindari diri dari lingkungan, serta merasakan penilaian diri yang rendah sehingga menyebabkan kejenuhan dalam belajar, ketidakpedulian terhadap tugas akademik, kurangnya motivasi, timbul rasa malas, dan mengakibatkan turunnya prestasi dalam pembelajaran (Febriani et al., 2021; Muflihah & Savira, 2021). Leiter & Maslach (2000, dalam Arlinkasari & Akmal, 2017) mengemukakan bahwa terdapat setidaknya enam faktor yang dapat mempengaruhi munculnya burnout, yaitu: reward, community, workload, control, value, dan fairness. Reward, bisa dalam bentuk kurangnya pengakuan/apresiasi atas usaha yang sudah dilakukan. Ketika seseorang merasa tidak dihargai atas kerja kerasnya, baik dalam konteks materi dan non materi, dapat menyebabkan hilangnya motivasi. Community, bisa terjadi ketika memiliki hubungan buruk atau tidak ada dukungan dari lingkungan sosial.
Workload, yaitu beban kerja yang terlalu berat dan tidak seimbang nyatanya dapat menyebabkan mahasiswa mudah kelelahan. Karena ketika seseorang dihadapkan dengan jumlah volume kerja atau tugas yang terlalu banyak tanpa ada jeda yang cukup, hal ini dapat memicu munculnya burnout dan kelelahan. Control, individu tidak mampu mengontrol lingkungan kerja atau keputusan yang mempengaruhi studinya dapat meningkatkan risiko kelelahan kronis.
Dalam kehidupan perkuliahan, pada saat mahasiswa tidak memiliki kendali atas tugas-tugas atau hasil dari pekerjaannya dapat menurunkan semangat dan motivasi hingga frustasi. Value, ketidaksesuaian antara nilai perseorangan dengan nilai yang dipegang oleh lingkungan kampus atau organisasi dapat menyebabkan disonansi emosional dan kelelahan mental. Terakhir yaitu fairness, perlakuan yang tidak adil dalam lingkungan kerja atau studi dapat menimbulkan perasaan marah dan frustasi.
Burnout yang berkepanjangan ternyata memiliki dampak serius terhadap kesehatan mental mahasiswa. Ketika kelelahan fisik dan mental terus terjadi tanpa penanganan, hal ini dapat menyebabkan stres, depresi, dan perasaan putus asa yang berkepanjangan. Burnout yang parah tidak hanya mengganggu produktivitas dan kesehatan emosional siswa, tetapi juga dapat mendorong mereka untuk memikirkan bunuh diri. Lebih dari 700.000 orang meninggal setiap tahun di seluruh dunia, data ini dilansir dari World Health Organization (WHO), dan angka ini dapat meningkat khususnya di kalangan remaja, termasuk mahasiswa. Diperkuat juga dengan data dari sebuah penelitian di Amerika Serikat yang menemukan bahwa 36,6% mahasiswa mengalami depresi, dan 9,5% dari mereka pernah berpikir untuk bunuh diri karena tekanan akademik dan kelelahan.
Dengan ini, fenomena burnout di kalangan mahasiswa tentunya tidak bisa dianggap remeh atau dikesampingkan begitu saja. Sebab kelelahan mental yang dialami akibat tekanan akademik, sosial, juga ekspektasi yang tinggi nyatanya dapat berdampak serius untuk kesehatan mental mereka, bahkan naasnya bisa hingga memicu depresi dan peningkatan risiko bunuh diri. Oleh karena itu, sangat penting bagi pihak-pihak yang berada di lingkungan kampus seperti dosen dan mahasiswa itu sendiri untuk dapat mengenali tanda-tanda burnout sejak dini dan tentunya mengambil langkah penanganan yang tepat. Dengan memberi dukungan mentak yang memadai, mengalokasikan layanan konseling, serta menciptakan lingkungan belajar yang lebih seimbang, tentunya kita dapat membangun ruang belajar dan berkembang yang lebih sehat dan aman bagi kesejahteraan mahasiswa secara menyeluruh.
Sumber:
https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/character/article/view/47320/39554
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H