Banyak para pemangku kepentingan (baca : stakeholder) yang saat ini merasa kepalanya sakit karena isu BALSEM, seyogyanya bahwa balsem itu adalah obat untuk meredakan sakit kepala atau bagian badan lain yang dirasa sakit maka setelah dioles akan mengurangi rasa sakit tapi ini malah menambah rasa sakit, dan ini dirasakan oleh mereka para stakeholder yang ada di paling bawah seperti Ketua RT, RW dan para Kepala Desa yang terus mendapat kritikan dan desakan serta pertanyaan mengapa "saya " tidak mendapat bantuan, ataupun kenapa yang mampu, punya emas banyak, kendaraan bermotor dan rumah mewah bahkan orang yang beristri dua bisa mendapatkan BLSM atau BALSEM yang membuat sakit kepala itu. BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) adalah program kompensasi kenaikan harga BBM bagi rakyat miskin. Berbagai kritik dilontarkan terkait dengan ini. Kritik yang sering muncul adalah saratnya kepentingan politik dibalik pembagian BLSM ini, dan juga ketika BLSM dilaksanakan, bagaimana salah sasaran, ketidak-merataan, dan berdesak-desakannya masyarakat antri BLSM ini. Bagi rakyat miskin adalah sangat berarti memperoleh Rp 300.000 tunai, apalagi dia akan merasakan terima rutin selama kurun waktu tertentu, layaknya orang gajian. Yang patut kita kritik adalah, memang mengapa kenaikan harga BBM yang kemudian diikuti dengan BLSM ini dilaksanakan dengan kebetulan pembagian BLSM dekat dengan pemilu? Padahal banyak analisa, dan juga isu kenaikan harga BBM ini sudah jauh-jauh hari muncul. Juga permasalahan di lapangan yang muncul saat pembagian BLSM. Bagaimana pendataannya? Ada kesan tergesa-gesa dalam hal ini, dan ini semakin meyakinkan orang bahwa pertimbangan politik praktis menjelang pemilu 2014 lah yang memaksa ketergesa-gesa-an ini seakan dipaksakan. Semacam mengejar setoran saja. Melupakan ‘biaya sosial” (social cost) yang mungkin muncul akibat ekses karena ngebetnya ‘mengejar setoran’ itu. Sebetulnya kebijakan Balsem ini kalau dilihat dari nilai sosialnya sangat sedikit memberikan manfaat, dan ini menjadikan masyarakat terbiasa meminta dan pingin diberi tanpa mau berusaha dan ini hanya sebuah kebijakan pragmatis bagi kalangan elit partai yang mendukung kebijakan BLSM ini yang tergabung dalam koalisi seperti Partai Demokrat, PPP, PAN, PKB, dan Golkar yang hanya ingin mendapatkan simpati dari masyarakat pada Pemilu 2014 dan ini kebijakan tidak populis dan hanya menguntungkan sebagian pihak saja. Padahal banyak jalan dan cara yang lebih elegan terhormat dan lebih memanusiakan manusia sebagai pengganti kebijakan dari dampak kenaikan BBM, seperti misalnya warga dari Solo yang mengembalikan sebanyak 8554 Kartu KPS, pasalnya masyarakat merasa telah berdaya dan mampu secara ekonomi. dan kalau dilihat secara hitungan matematis dengan memandang bahwa kompensasi yang diberikan pemerintah atas kenaikan harga BBM akibat penyesuaian harga minyak mentah dunia adalah sebesar 9,3 Triliun rupiah daripada dibagikan langsung ikan ke masyarakat yang memang dipandang layak untuk diberi atau mendapatkan hak tersebut maka sebagaimana pendapat RACHMAT (Kepala Desa Cikeruh) Kecamatan Jatinangor lebih baik pemerintah membuka lapangan pekerjaan atau di bagi rata ke setiap desa untuk peningkatan infrastruktur perdesaan dan kalau dibagi rata bahwa jumlah kompensasi 9.3 triliun rupiah dibagi ke 79075 desa di Indonesia maka setiap desa akan mendapatkan kucuran dana sebesar Rp. 117.609.864 dan hal ini bisa digunakan untuk program pemberdayaan desa bisa digunakan untuk infrastruktur yang mana nantinya pekerja berasal dari masyarakat desa tersebut dan atau juga sebagai modal bagi masyarakat untuk membuka usaha dengan mekanisme guliran sebagaimana seperti proses yang dilakukan oleh PNPM Mandiri dan hal ini lebih memanusiakan manusia daripada harus gontok-gontokan dan ngotot untuk mendapatkan BLSM yang dinilai tidak memanusiakan manusia sebagai mahluk yang mulia. Balsem yang saat ini digulirkan pemerintah bukan sebagai solusi dari dampak kenaikan BBM bersubsidi, tetapi lebih kepada menambah permasalahan baru bagi pemangku kepentingan ditingkat bawah, dan tidak jarang terjadi konflik horisontal antara masyarakat dengan masyarakat karena merasa iri tidak mendapatkan bantuan dan juga memang layak untuk mendapatkannya. Memang dari awal bahwa kebijakan ini merupakan kebijakan tergesa-gesa dan lebih kepada mengejar target untuk meraih simpati masyarakat, pasalnya sejak awal pendataan yang dilakukan PPLS dari BPS ini tidak pernah melibatkan pemerintah terbawah untuk mendata warga masyarakat, dan terkesan ditutupi karena semua pengurus RW dan RT bahkan Pemerintah Desa sendiri tidak tahu menahu pendataan ini, kalaupun ada yang mendampingi dri Pemerintah Desa itupun dilakukan dengan disilang dan juga walaupun betul dilakukan pendataan dan ada pendampingan dari Pemerintah Desa tetapi ketika ada pengolahan data di BPS (Badan Pusat Statistik) terkesan asal-asalan dan sengaja dilakukan seperti itu hanya untuk mengejar target sebelum pelaksanaan Pemilu berlangsung dan juga memang sengaja untuk menciptakan kekisruhan di level paling bawah masyarakat. Yang menjadi masalah adalah, bukan pada yang miskin penerima BLSM, tetapi biaya sosial akibat salah sasaran, pendataan yang tidak akurat, keberdesak-desakannya dalam antrian yang cenderung nampak tidak ‘memanusiakan’ itu. Dan pendataan, salah sasaran, dan seterusnya, itu bukanlah domain rakyat miskin penerima BLSM. Itu adalah domain pemerintah! Sebuah masalah yang sebenarnya berulang dan berulang. Dan kita (baca: pemerintah) sepertinya tidak pernah belajar dengan baik soal itu. Kenapa? Jangan-jangan mungkin karena concern-nya memang lebih pada keuntungan politik praktis, khususnya terkait dengan pemilihan umum, bukan pada masalah yang miskin. Dan terakhir, akhirnya kita menyerahkan kepada masyarakat calon pemilih untuk lebih cerdas memilih partai mana yang bisa memanusiakan manusia dan partai mana yang membuat manusia terhina. Tunggu saatnya pada Pemilu 2014 nanti jangan sampai kita tertipu tiga kali setelah kita tertipu dua kali oleh pemerintahan yang membuat manusia lebih terhina yang membuat kita terkesan seakan-akan seperti pengemis membuat tangan kita selalu terbuka untuk meminta bukan tertutup untuk bisa memberi. (mang deni, Majalah Info Desaku). Sumber : http://desa-cikeruh.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H