Yunita tercinta.
Bacalah baik-baik surat ini, karena aku tidak lagi bersamamu. Aku tulis surat sekarang padamu karena pada saat ini aku teringat banyak hal-ketika aku memberanikan diri untuk mengantarmu pulang, ketika kamu mengusulkan jangan lewat jalan yang biasa, seluruh ketegangan terlibat dalam perjalanan itu. Suatu ketika ketegangan itu akan menghampirimu dan menagih rinduku, dan kemungkinan nyata dari impian tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.
Bersama surat ini kukirimkan hatiku padamu, bukan sepotong tapi utuh. Tanpa empedu, darah, atau racun lewat yang tidak sempat dinetralisir. Hanya hati. Aku tahu kamu hanya menyukai hati. Sesungguhnyalah hati itu membahagiakan manusia meskipun hanya dirasakan oleh orang yang tidak punya hati. Merahnya hati bagaikan antitesa warna-warni dunia tempat ia berada. Hati bukan sekedar alat pencernaan makanan, hati ada dengan suatu makna yang memberi makanan jiwa hanya dengan merasakannya.
Kukirimkan hatiku untukmu Yunita, bukan kata-kata cinta. Kata-kata tidak mampu mengexpresikan apa yang ingin aku ungkapkan. Kukirimkan padamu hati yang bersih dan segar dengan warna merah hati yang nyata.
Yunita wanitaku.
Akan kuceritakan kenapa aku mengirimkan hati ini untukmu.
Senja itu aku duduk di tengah taman, di tengah gedung-gedung tinggi. Memandang keberadaan ruang dalam ruang, memandang belantara tanda-tanda yang harus di beri makna. Di tengah taman, di tengah ruang, lembayung masih menyisakan kuningnya. Deretan gedung tinggi yang tersentuh sinarnya bagaikan batangan emas yang membuat siapapun akan iri jika melihatnya. Orang-orang tampak sebagai siluet, tidak terkecuali perempuan ini. Dia berjalan ke arahku.
"Rie, aku mau membeli hatimu !" Tanpa sadar dia sudah berada di depanku. Dia memang cantik. Umurnya baru dua puluh lima tahun, tubuhnya langsing tapi bagiku dia tidak menarik. "Hatimu harus jadi milikku, sekarang !" Lanjutnya dengan sedikit ancaman. Aku tidak bergeming. Jiwaku sudah terbiasa menerima pemaksaan kehendak dari orang seperti ini. Orang-orang yang merasa kaya, berkuasa walaupun kekayaan dan kekuasannya di dapat dari ngibul sana sini. Maka aku melangkah pergi, meninggalkannya dengan tega.
Yunitaku.
Aku tahu kamu menyukai hatiku karena itulah tidak akan kuberikan pada siapapun. Aku tahu kamu selalu membayangkan kamarmu dihiasi hatiku, di sebuah rumah di antara kebun delima, dimana sebuah delima tidak akan habis dimakan sekelompok keluarga dan kulit buahnya bisa dipakai untuk kita berteduh. Kita akan bersenda gurau sambil bertanya-tanya apakah semua ini benar-benar terjadi. Kini hatiku bisa kamu bawa kemanapun kamu suka.
Ketika aku meninggalkan taman itu orang-orang berstelan jas hitam mencegatku. Ternyata perempuan itu tidak sebodoh yang kukira.