Lihat ke Halaman Asli

Beban dan Doa Ipul

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com



LEBARAN  tahun lalu. Dua hari menjelang lebaran. Ipul menyandang tas semir
sepatunya. Lalu pamit sambil mencium tangan ibunya yang terbaring di kasur
yang lusuh.
"Jaga Ibu ya, Ti," pesannya pada Surti.
"Iya..., Bang. Tapi obat Ibu sudah habis, Bang," jawab adiknya.
Langkah Ipul tertahan. "Doain aja rejeki kita lancar hari ini," balasnnya
sambari berlalu.
Sejak asma dan batuk ibunya kumat seminggu lalu, mencari nafkah memang
sepenuhnya di pundak Ipul. Sementara ayahnya -- setelah terjadi kerusuhan
sebuah partai politik belasan tahun silam -- tak ada kabar beritanya lagi.
Lenyap ditelan bumi. Hingga sekarang bocah kelas VI SD itu tak pernah mengerti
kenapa peristiwa politik itu sampai membuat ayahnya tak pernah pulang.
*****

"YA, ALLAH... Hanya kepada Engkau hamba menyembah, kepada Engkau

hamba mohon pertolongan. Tolonglah kami dari kesulitan ini. Amin..." Ipul menutup

doanya usai sholat Ashar berjamaah di mesjid At Taqwa, di belakang super mal itu,

tempat ia mangkal jadi tukang semir sepatu.

"Pul, ke kantor panitia amil zakat, ya," sapa Haji Mursyid.

"Ya, Pak Haji," bersemangat Ipul bangkit dan membuntutinya.

"Ini fitrah empat orang untuk keluargamu. Dan yang ini bingkisan lebaran dari

TELKOMSEL, yang disalurkan lewat mesjid  ini," Pak Haji menyerahkan

amplop fitrah dan tas berlabel "Telkomsel Berbagi Ceria Ramadan".

"Alhamdulillah.... Terimakasih, Pak Haji," sambut Ipul ceria. "Tapi, Pak Haji,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline