Generasi masa kini semakin tak terkendali oleh ulah iklim globalisasi yang katanya mampu membuat kepercayaan diri semakin tinggi namun berbuntut panjang menjadi bumerang bagi si pelaku sendiri.
Diharapkan dapat meningkatkan kemampuan yang nyata namun kebanyakan menurutkan kemauan belaka. Generasi muda dituntut untuk menjadi sosok yang beraksi dan menginspirasi untuk negeri, namun tingkahnya malah berbalik arus dengan dalih meningkatkan gengsi.
Niat sekolah mulai luntur, nilai rapot mulai kabur. Saat posisi tidak baik menimpanya malah menyalahkan orang tua yang lengah akan kecanggihan teknologinya.
Sejak budaya globalisasi menerpa, ia berasumsi bahwa orang tua sama dengan teman sebaya. Pikirannya sok mendewasa padahal makan sehari-hari ditanggung oleh orang tua. Otomatis, sikapnya menjadi apatis. Egois mulai mendarah daging tak pandang orang atau barang.
Uang jajan dihabiskan beralaskan untuk sumbangan. Tidak sekolah mengaku diri sakit padahal bermesraan di semak lereng bukit.
Generasi masa kini, hancur karena peradaban tak mampu mengendalikan zaman.
Sosial media menjadi dunia nyata, dunia maya menjadi tempat obrol dan sapa. Teman di sebelah diacuhkan karena sibuk dengan teman di depan, seolah-olah ada namun tak muncul jua.
Kenal tak kenal harus jadi teman. Tak peduli ia komunis yang penting pertemanan tetap harmonis. Tak peduli ia atheis yang penting selalu memberikan senyuman termanis. Tak peduli ia apatis yang penting orangnya humoris.
Tiap harinya tak berhenti menunduk. Bangun tidur, menunduk. Sedang makan, menunduk. Waktu mandi, menunduk. Nonton tv, menunduk. Pertemuan keluarga, menunduk. Sebelah teman, menunduk. Di tempat umum, menunduk. Di kendaraan umum, menunduk. Sebelum tidur, menunduk.
Semua aktivitasnya sedari bangun tidur hingga tidur lagi didominasi dengan menunduk.
Bukan menunduk ala jepang, bukan pula menunduk ala islam. Menunduk ala jepang untuk memberikan penghormatan kepada Dewa Matahari.