Lihat ke Halaman Asli

Deri Prabudianto

Hanya orang biasa

Namaku Awai 300-301

Diperbarui: 3 Oktober 2018   07:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sosok itu mengangkat kepalanya, matanya yang tidak tertutup itu melotot. " Tidak mungkin ! Itu celah yang tak bisa dilihat dari kiri dan kanan. Kecuali kamu berada di belakang penyewaan buku."

" Aku... menyewa buku di Bosanku. Aku melihatmu di belakang Bosanku. Kupanggil kamu tak menjawab. "

" Kamu bercerita kepada siapa saja ?"

" Tidak. Aku bukan orang yang banyak mulut."

" Bagus. Tetaplah menutup mulutmu. Aku akan membalas jasamu."

" Baik. Aku  harus berangkat ke Megaria. Sungguh kamu tak ingin kupanggilkan beca untuk mengantarmu ke rumah sakit ?"

" Tidak. Pergilah ! Aku sudah sembuh."

Awai melihat nafas sosok itu sudah tidak tersengal-sengal, sudah bernafas mirip manusia normal. Ia lega dan berlalu dari dermaga itu sambil membawa tempat air dan embernya. Ia menoleh setelah tiba di pasar. Dilihatnya sosok itu merayap dan turun ke bawah dermaga.

" Apakah dia Akui, atau Kuiyi si Gila ?" Awai mulai tertarik dengan kemisteriusan sosok itu.

Seminggu menjelang Imlek, Hsu Natan memberi sebungkus angpao sebagai hadiah imlek, sambil berpesan, " Jangan diberikan pada ibumu. Pakailah untuk membeli kebutuhan imlek keluargamu. Ayahmu sudah tak bisa membelikan kalian pakaian baru."

Awai mengangguk, ia mengucapkan terima kasih. Saat tiba di Megaria, ia mengintip isi angpao itu. Isinya lumayan gede. Lima puluh ribu. Awai menitip uang itu pada ayahnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline